LIPI: Menguatkan Diplomasi Ekonomi Indonesia-Afrika Melalui Budaya Makanan

FAZ • Thursday, 22 Oct 2020 - 19:47 WIB

Jakarta - Sejarah panjang hubungan dagang Indonesia dan Afrika telah terbangun sejak abad ke-3 dan masih terjalin erat hingga saat ini, Pada 2018 misalnya, total nilai ekspor Indonesia ke Afrika mencapai USD 4,76 milyar.

Komposisi ekspor nasional ke Afrika antara lain didominasi oleh produk hasil olahan pertanian dan perkebunan seperti minyak kelapa sawit, kopi, cengkeh, dan pala. Selain itu, rempah-rempah hingga bumbu kemasan yang merupakan bagian transformasi manufaktur dari produk rempah tanah air pun telah banyak diperdagangkan di Afrika.

Kepala Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI, Ganewati Wuryandari menyebut total ekspor bumbu kemasan Indonesia yang sampai di pasar Afrika tahun 2018 mampu mencapai USD 61,3 juta dari total nilai ekspor Indonesia-Afrika (USD 4,76 milyar).

“Pertumbuhan ekspor bumbu kemasan tersebut pun mengalami tren kenaikan hingga 13,56% per tahun dalam periode lima tahun terakhir, 2015 hingga 2019,” ungkapnya.

Berdasarkan temuan tersebut, saat ini gastrodiplomasi atau upaya diplomasi melalui budaya makanan memiliki potensi besar dalam perkembangan relasi dagang Indonesia-Afrika.

“Ini menjadikan pasar Afrika menawarkan potensi besar dalam gastrodiplomasi Indonesia. Peluang gastrodiplomasi di Afrika akan erat kaitannya dengan sejarah budaya masakan ataupun kuliner masyarakatnya,” imbuh Ganewati.

Peneliti Utama Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI sekaligus Profesor di bidang sejarah lokal global, Erwiza menyampaikan pola konsumsi, kondisi dan karakteristik masakan masyarakat Afrika dapat menjadi peluang bagi peningkatan penetrasi ekspor Indonesia.

“Konsumsi minyak kelapa sawit sebagai campuran makanan pokok di kawasan Afrika Barat, serta budaya barbeque lokal yang lazim dijumpai di kawasan Timur dan Selatan Afrika merupakan segelintir dari masih banyaknya peluang sektor kuliner yang belum banyak digarap di benua ini,” terang Erwiza.

Namun, Erwiza menyebut peningkatan ekspor ke pasar Afrika bukanlah hal yang mudah mengingat tingginya tingkat tarif impor yang diterapkan oleh negara-negara Afrika yang masih berkisar di angka 15,15%. Terkait hal tersebut, perhitungan Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI menemukan bahwa setiap penurunan sebesar 1% tarif impor akan dapat meningkatkan pertumbuhan nilai ekspor Indonesia ke Afrika sebesar 0,9%.

“Artinya, jika pemerintah mampu menginisiasi kerjasama untuk menurunkan besaran tarif impor hingga 0%, maka dapat meningkatkan pertumbuhan nilai ekspor Indonesia ke Afrika sebesar 13,64 %,” jelas Erwiza.



Erwiza menjelaskan, selain terganjal tarif ekspor, pertumbuhan ekspor Indonesia ke Afrika juga dihadapkan pada tantangan perubahan kondisi perdagangan dalam lingkungan global, yang ditandai oleh semakin tidak efektifnya perundingan multilateral melalui World Trade Organization (WTO) dan munculnya kecenderungan proteksionisme.

“Untuk itu, diperlukan lebih banyak kerjasama ekonomi yang bersifat bilateral-regional, seperti Preferential Trade Agreements (PTA) dan Free Trade Area (FTA),” ungkapnya.

“Mulai dari sejarah perdagangan, kemiripan karakteristik budaya masakan, tingginya pertumbuhan ekonomi, hingga pemanfaatan PTA di Afrika diharapkan dapat menjadi bagian strategi diplomasi ekonomi ke Afrika serta membangkitkan kembali sejarah emas jalur rempah bagi Indonesia,” ujar Erwiza.

Webinar ini juga menghadirkan pembicara Herry Sudrajat, Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh (LBBP) RI untuk Mozambik merangkap Malawi; Daniel Tumpal S. Simanjuntak, Direktur Afrika- Kemlu RI; dan Sartin Hia, Asisten Deputi Pengembangan Ekonomi Kreatif- Kemenko Kemaritiman dan Investasi RI.