Peringatan Dini dan Protokol Krisis Diperlukan Untuk Keamanan Negara Indonesia

• Saturday, 7 Mar 2020 - 17:26 WIB

Jakarta - Bedah buku dengan judul Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila digelar oleh Yayasan Suluh Nuswatara Bakti bersama Aliansi Kebangsaan dan FKPPI di Asean Room, Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (7/3/2020).

Hadir dalam bedah buku tersebut adalah Pembina YSNB, Ketua FKPPI, dan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, serta 8 narasumber. Bob Mangindaan, Prof Sofian Effendi, Prof Kaelan, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, Mayjen (Purn) I. Gede Putu Rai, Isnaeni, R.M.A.B. Kusuma, dan Prof. Yudhie Haryono.

Buku Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila berisi tentang pembanguna kesamaan persepsi, serta menumbuhkan kesadaran (awareness) dan kewaspadaan (alertness) kolektif bangsa Indonesia terhadap seriusnya berbagai bentuk ancaman yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia.

Pembangunan kesamaan persepsi tentang ancaman yang dihadapi bangsa dan negara sangat penting, agar bangsa dapat bersatu padu dalam merespons setiap ancaman serta menemukan solusi yang tepat. Dalam konteks membangun pertahanan negara, persepsi ancaman menjadi basis dalam perencanaan pertahanan.

Ketua FKPPI, dan Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo menjelaskan, mengacu pada pendapat Daron Acemoglu dan James A Robinson (2012) mengingatkan bahwa kegagalan suatu bangsa tidak terjadi dengan tiba-tiba. Bibit-bibit kegagalan itu sebenarnya sudah tertanam jauh di dalam berbagai institusi politik kenegaraan, terkait bagaimana sebuah negara dijalankan. Dan karena kegagalan suatu negara tidak terjadi secara tiba-tiba, maka kini perlu segera dilakukan perencanaan pertahanan.

"Perencanaan pertahanan tersebut, harus dilaksanakan secara sadar, terencana, sistematis, terarah, dan berkelanjutan dengan tetap bersendikan pada nilai-nilai dan karakter bangsa, agar pertahanan bangsa dapat mengikuti ancaman yang selalu berubah sesuai kondisi jamannya", kata Pontjo Sutowo.

Sementara itu, Kiki Syahnakri menilai Amandemen UUD 1945 merupakan salah satu bentuk ancaman bagi nilai-nilai bangsa dan pertahanan negara. Hal ini karena ada insible hand dalam Amandemen UUD 1945. Menurutnya, ada beberapa indikasinya yaitu Undang-Undang Referendum yang dihapus, penjelasan dihapus, 6 butir yang tidak boleh berubah dilanggar, serta kehadiran NDI di Senayan.

"Jika kondisi tersebut tidak dikaji ulang, maka pertahanan negara dalam posisi genting. Hal ini Amandemen UUD 1945, dapat menggiring pada perpecahan bangsa sebab karenanya, sendi-sendi negara seperti nasionalisme, patriotisme, toleransi, kebersamaan, dan gotong royong telah dibuat luntur', kata Kiki Syahnakri.

Sedangkan R.M.A.B. Kusuma mengatakan, jika UUD Amandemen 2002 merupakan bentuk pembubaran negara proklamasi UUD 1945 dan penggantian UUD 1945. Terlebih UUD Amandemen 2002 tidak mendasarkan pada Pancasila dan memiliki semangat liberalisme yang berbeda jauh dengan UUD 1945.

"Kondisi ini perlu menjadi pemikiran seluruh anak bangsa, dalam menyusun kembali pertahanan negara", kata R.M.A.B. Kusuma.

Ia juga mencontohkan, negara Amerika Serikat memiliki declaration of independence, dimana kekuasaan berasal dari rakyat, dengan goal atau tujuan pemerintahan adalah kesejahteraan rakyat.

"Delclaration of independen bahwa kekuaasan berasal dari rakyat. Goal dari pemerintahannya adalah kesejahteraan," katanya.

Selain itu, Pancasila yang terbentuk pada 1 juni belum memenuhi karena belum ada goalnya yaitu mencerdaskan dan melindungi segenap bangsa. Namun baru ada pada tanggal 12 juni. Untuk itu, Ia meminta perubahan terhadap tujuan.

"Goalnya diubah dan perubahannya ada prinsip, ada goal dan minsnya," ujarnya.

Sedangkan, Mayjen (Purn) I Dewa Putu Rai mengatakan, jika buku Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila secara umum berisi dua hal. Pertama, saran atau pemikiran dalam menyempurnakan atau updating konsep dan doktrin pertahanan nasional. Kedua, saran atau pemikiran dalam menguatkan kondisi pertahanan nasional bangsa.

Hal tersebut, katanya, karena ancaman keamanan nasional telah berkembang lebih luas yaitu, ancaman terhadap keamanan negara, ancaman terhadap keamanan masyarakat, dan ancaman terhadap keamanan insani.

"Kini harus dibuat langkah untuk mengenali kemungkinan ancaman, serta membangun keuletan dan ketangguhan negara di segala bidang kehidupan", kata Putu Rai.

Yudhie Haryono menyatakan, buku tersebut membuka mata seluruh anak bangsa, bahwa Indonesia tidak memiliki sistem peringatan dini dan protokol krisis kenegaraan guna memastikan keamanan, ketahanan, dan kemartabatan negara dan warganegara di dunia.

Ia menilai, ketidakadaan keduanya menyebabkan bangsa ini tidak menyadari ancaman yang kini berkembang sehingga mengakibatkan berkuasanya oligarki.

"Sistem peringatan dini dan protokol krisis harus segera dibangun di Indonesia. Keduanya tentu saja harus berlandaskan Pancasila guna memastikan bantuan bagi otoritas kenegaraan bereaksi dan mengambil langkah-langkah yang tepat dan terkoordinasi untuk mengatasi krisis dalam waktu cepat", tegasnya. (ANP)