Firli Bahuri Hadirkan Saksi dan Ahli, Perkuat Permohonan Praperadilan

MUS • Thursday, 14 Dec 2023 - 18:07 WIB

Jakarta - Sidang praperadilan yang diajukan Ketua non aktif KPK, Firli Bahuri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (14/12/2023) memasuki agenda pemeriksaan saksi dan keterangan ahli.

Dalam sidang, ahli Prof. Romli Atmasasmita mengatakan suatu perkara pidana setelah dibuat laporan polisi tidak bisa langsung dilakukan penyidikan, tetapi harus melalui tahap penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.

"Dalam hal tidak dilakukan penyelidikan dan langsung dilakukan penyidikan dalam suatu perkara, tidak dapat dinyatakan sah penyidikan dan penetapan tersangka yang dilakukan terhadap perkara tersebut. Hal ini karena tidak ada penyelidikan terlebih dahulu oleh penyelidik, yang berarti belum ditemukan adanya suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan," jelas Prof. Romli. 

Apabila dalam proses penyelidikan tidak dilakukan pemeriksaan klarifikasi/interview terhadap terlapor, maka penyidikan dan penetapan tersangka yang dilakukan terhadap perkara tersebut, tidak sesuai prosedur yang berlaku. 

Karena tidak ada klarifikasi terkait dengan apa yang dituduhkan pelapor terhadap terlapor, serta tidak ada ruang dan waktu bagi terlapor maupun saksi, untuk menyangkal tuduhan pelapor atau mengakuinya.

"Suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan mens rea (mental element)," kata Prof. Romli. 

Unsur mens rea atau unsur actus reus harus dapat dibuktikan berdasarkan bukti-bukti dan saksi dalam proses penyelidikan/penyidikan. 

Apabila salah satu unsur mens rea atau unsur actus reus tidak dapat dibuktikan berdasarkan bukti-bukti dan saksi dalam proses penyelidikan/penyidikan, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana

Sementara dalam hal penetapan tersangka, diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. "Apabila dalam suatu tindak pidana hanya ada satu alat bukti yang sah sesuai pasal 183 KUHAP, maka tidak dapat dijadikan dasar sebagai penetapan tersangka," ucap Prof Romli.

Prosedur penyelesaian perkara termasuk penyidikan dan penetapan tersangka, harus dilakukan secara profesional, proporsional dan transparan agar tidak ada penyalahgunaan wewenang dan tidak semata-mata bertendensi menjadikan seseorang sebagai tersangka.

Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 21/PUU-XII/2014, alat bukti harus bersifat kuantitatif dan kualitatif.

Sedangkan dalam penetapan tersangka terhadap Firli Bahuri hanya berdasarkan alat bukti yang memenuhi unsur kuantitatif, tetapi tidak memenuhi unsur kualitatif. Tidak ada satu pun alat bukti yang menunjukkan adanya actus rea maupun mens rea sebagaimana dimaksud pasal 12 e, pasal 12 B atau pasal 11 UU Tipikor.

Keterangan ahli yang menegaskan tidak adanya penyelidikan, tidak ada mens rea, dan actus rea, serta alat bukti yang tidak memenuhi unsur kualitas merupakan kesalahan prosedur yang memperkuat dalil pembatalan penetapan tersangka Firli Bahuri.

Kesimpulan tim ahli ini terdiri dari Prof. Suparji Ahmad, Prof. Romli Atmasasmita, Prof. Agus Suroso dan mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai.