Urgensi UU Perampasan Aset untuk Mengembalikan Hak Negara dan Masyarakat

MUS • Saturday, 29 Apr 2023 - 20:49 WIB

Jakarta - Tingginya angka korupsi dalam beberapa tahun terakhir, yang ditandai dengan kecurangan, memperdagangkan pengaruh termasuk menyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk pencucian uang oleh penyelenggara negara, harus dimaknai sebagai kejahatan serius (the most serious crime).

Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra mengatakan, untuk mencegah dan memberantas optimal kejahatan ini, maka keberadaan  UU Perampasan Aset menjadi sangat penting. Sebab perangkat hukum yang ada saat ini belum mampu secara maksimal mengeksekusi pengembalian aset hasil korupsi maupun kejahatan.

"Mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana harus secara in rem melekat pada (kebendaannya) bukan pada orang (in personam), termasuk tidak dilakukan dengan cara konvensional melainkan melalui sistem pembalikan beban pembuktian guna mengembalikan aset negara dan menyita aset yang terkait dengan kejahatan. Jadi sekalipun tersangka atau terdakwa beralasan atau berupaya  melarikan diri, sakit permanen, tidak diketahui keberadaannya atau meninggal dunia, benda hasil kejahatannya dapat disita," kata Azmi dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (29/4). 

Menurut Azmi, praktik korupsi maupun trend modus pencucian uang yang dilakukan penyelenggara negara bekerja sama dengan pihak lain dapat dimaknai bahwa negaralah yang menjadi korban (victim state).

"Sehingga negara harus mengambil kembali aset yang dikuasai oleh pelaku tindak pidana korupsi atau para pelaku pencucian uang tersebut yang hasilnya berhubungan dari suatu persekongkolan kejahatan," sebutnya. 

UU Perampasan Aset dapat diartikan sebagai wujud "berikanlah kepada negara apa yang menjadi hak negara".

"Sehingga tidak ada tempat bagi pelaku untuk menyembunyikan aset atau harta dari perbuatan tindak pidana korupsi serta tidak ada seorangpun yang dapat menikmati aset-aset hasil kejahatan," tukas dia.