Cerita Tsunami dari Jepang dan Srilanka untuk Masa Depan Bali

MUS • Monday, 17 Oct 2022 - 21:41 WIB

Bali - Narasi ini menggambarkan latihan tsunami, Minggu (16/10/2022). Gempa bumi terjadi di Tanjung Benoa, wilayah di Bali yang dikelilingi laut, tanpa dataran tinggi dan hanya ada satu-satunya akses, untuk keluar masuk tanjung, menjauh dari laut. 

Di salah satu sudutnya, di antara resor dan perhotelan, murid-murid SDN 2 Tanjung Benoa langsung berkumpul dengan tertib di tengah lapangan. Beberapa detik kemudian, sirine berbunyi, tanda peringatan potensi tsunami. 

Dengan menutup kepala dengan tangan, para murid di bawah arahan guru-guru berjalan cepat menuju titik evakuasi, sebuah hotel yang memiliki 'rooftop' lantai 6. 

BACA JUGA: Gerakan Sedekah dan Kolekte Sampah Indonesia Diluncurkan di Labuan Bajo

Simulasi dinyatakan berjalan lancar tanpa ada peserta yang terjatuh atau cedera. Kesigapan masyarakat di Tanjung Benoa, termasuk siswa SD, menjadikannya sebagai daerah pertama di Indonesia yang terverifikasi sebagai Komunitas Siaga Bencana Tsunami (Tsunami Ready Community), oleh Komisi Oseanografi Antar-Pemerintah (IOC) UNESCO. 

Latihan yang telah berkali-kali dilaksanakan dalam setahun belakangan ini, turut difasilitasi oleh UNDP, dengan menggandeng sektor pariwisata dan sekolah dalam pengurangan resiko bencana.

Tsunami di Srilanka
Kita kilas balik ke tahun 2004, sebuah keluarga terdiri dari ibu bapak dan 2 putrinya berlibur di Srilanka Selatan, tepatnya pada 21 Desember 2004. Mereka menginap di hotel kecil di pinggir pantai. 

Lalu pada tanggal 25 Desember pagi, beberapa teman dari Ibukota Colombo, sekitar 2 jam jaraknya dari tempat liburan, mengajak merayakan Hari Natal. Keluarga kecil tadi setuju. Mereka berencana menginap semalam di Colombo pada malam Natal. 

Selanjutnya, Anda mungkin masih ingat yang terjadi 26 Desember 2004 pagi. Srilanka pun dihantam tsunami. Hotel yang ditempati mereka, hancur luluh lantak. Keluarga kecil tersebut beruntung karena sempat pergi ke Colombo. Koper mereka hanyut ke laut.

Mereka bisa jadi turut menjadi korban, tanpa pernah tahu apa yang harus dilakukan saat tsunami, karena tak pernah berlatih dan melaksanakan simulasi.

Tak ada satu pun yang siap dengan ombak besar setinggi kira-kira 12 meter di Srilanka. Sang ibu kehilangan teman-teman. Menurutnya, tak ada satu pun termasuk di Aceh, yang bisa melupakan bencana tersebut.

Sang ibu kini menjadi Asisten Sekjen PBB dan Direktur Regional UNDP untuk Asia Pasifik, Kanni Wignaraja, menceritakan kisahnya di hadapan puluhan peserta simulasi di SDN 2 Tanjung Benoa. 

Kanni menyebut latihan tsunami yang dilaksanakan para murid, belajar dampak bencana, bagaimana mencegahnya dan menjelaskan kepada keluarga; bukanlah sekadar pekerjaan bagi Kanni. Hal ini sangatlah personal baginya. 

"Sangat personal bagi kita yang telah menjadi penyintas dari tsunami. Kita beruntung. Saya harap latihan ini sungguh berhasil," kata Kanni. 

Dia pun mengapresiasi keterlibatan pengelola hotel untuk menjadi tempat evakuasi di tengah daratan yang datar. "Seperti dinyatakan Gubernur Bali, saya ingin lebih banyak hotel terlibat di seluruh Bali. Contoh di Tanjung Benoa ini sangatlah kuat, dapat disebarkan ke seluruh Indonesia dan dunia," tambahnya. 

Tsunami di Jepang 
Perwakilan UNDP di Indonesia Norimasa Shimomura juga memiliki cerita personal untuk dibagikan dengan murid-murid, yang menjadi generasi masa depan Bali. 

Berasal dari Jepang, yang juga asal kata tsunami, Norimasa juga sangat sering menghadapi gempa bumi. Pada 2021 lalu, guncangan gempa magnitudo 9,1 memicu gelombang tsunami dan bencana nuklir di Jepang. "Saat kecil saya selalu melaksanakan latihan seperti di sini," cerita Norimasa. 

Dia mengapresiasi keterlibatan semua pihak termasuk pengelola hotel yang lantai atasnya bersedia menjadi titik evakuasi. Norimasa berharap, para murid selalu berlatih dan belajar serta bermain dalam masa kanak-kanak mereka. 

Latihan tsunami warga sekolah dan masyarakat desa di Tanjung Benoa, merupakan hasil kolaborasi berbagai perangkat pemerintah: BPBD, BMKG, pemerintah kabupaten, pemerintah desa, Pemerintah Jepang, dan UNDP. Kegiatan itu juga melibatkan sektor swasta yaitu hotel-hotel dengan bangunan lebih dari 3 lantai, yang bersedia menjadi tempat evakuasi, karena tidak adanya dataran tinggi di mayoritas kawasan wisata olahraga air tersebut. (MAR)