Aksi Bjorka, Sistem Pertahanan Siber Indonesia Perlu Diperkuat

AKM • Thursday, 22 Sep 2022 - 10:56 WIB

Jakarta - Kasus peretasan data oleh hacker Bjorka  memicu Indonesia menghadapi dua tantangan besar saat ini. Yakni tantangan eskalasi konflik geopolitik dan konflik Pemilu 2024.

"Pemerintah harus benar-benar menjaga atau memperkuat sistem pertahanan siber kita agar kita tidak terseret dalam konflik yang tidak perlu," kata Anis Matta, Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia dalam Gelora Talk bertajuk 'Bjorka dan Ancaman Kedaulatan Digital Kita', Jakarta, Rabu (21/9). 

Dalam jangka pendek yang perlu diantisipasi terkait kebocoran data, menurut Anis Mata, adalah memperkuat sistem pertahanan nasional dengan menjadikan siber sebagai matra baru dalam sistem pertahanan nasional kita.

"Cepat atau lambat, eskalasi konflik geopolitik akan menyeret Indonesia dalam pusaran besaran konflik dalam waktu dekat. Bukan hanya di Eropa, tapi Kawasan Pasifik akan menjadi spot paling panas di hari-hari yang akan datang," katanya.

Anis Matta menegaskan, serangan siber juga sangat mungkin terjadi pada Pemilu 2024 mendatang, meskipun KPU telah menerapkan kombinasi penggunaan data manual dan digital dalam Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) KPU.

"Proses kombinasi seperti ini sangat memungkinkan terjadinya serangan siber pada Pemilu 2024. Kita bisa saja mengalami banyak kekacauan," kata Anis

Anis Matta meminta pemerintah belajar dari kasus Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) pada 2016 dan 2020.

Hasil Pilpres AS tersebut, sampai sekarang tidak dipercayai, bahkan mantan Presiden AS Masih terus mengangkat kecurangan Pemilu 2020 hingga kini.

"Apalagi di tengah krisis ekonomi sekarang ini, sedikit saja ada trigger dari mishandling dalam kasus data Pemilu nanti 2024, kita sangat mungkin terseret dalam kerusuhan politik," katanya.

Sebab, suasana psikologis masyarakat di tengah krisis ekonomi secara keseluruhan menjelang Pemilu 2024 panas bisa meledak setiap saat.

"Secara mental dan suasana psikologis, masyarakat itu dalam kondisi siap untuk meledak. Karena itu, saya mengulangi kembali agar pemerintah memperkuat sistem pertahanan siber kita, supaya kita tidak terseret dalam konflik yang tidak perlu," pungkasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Dave Akbarshah Fikarno (Dave Laksono) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peratutan Presiden (Perpres) sebagai tindak lanjut dari pengesahan Undang-undang (UU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) pada Selasa (20/9/2022).

"UU-nya sudah kita kirim ke Istana, semoga dalam waktu dekat akan bisa diberikan ke Presiden. Ini langkah kita selanjutnya untuk peraturan pemerintah, peraturan presiden dan lain-lain yang mengatur secara teknis pidananya," kata Dave Laksono.

UU PDP ini, kata Dave Laksono, tidak hanya melindungi data pribadi dan negara, juga jaringan. Sementara orang-orang yang mengakses dan menjual data tanpa izin, yang selama ini terkesan dibiarkan, sekarang dapat dipidana karena merupakan perbuatan kriminal,

"Pemerintah diharapkan terus menginventarisasi persoalan keamanan di dunia internet di masing-masing lembaga maupun perbankan, yang rawan diretas hacker," katanya.

Ia berharap upaya penindakan pelanggaran di dunia siber perlu diperkuat lagi, dengan secepatnya menyelesaikan pembahasan RUU Keamanan Siber sebagai landasan hukumnya.

"Tapi kalau bentuk Satgas, itu sifatnya adhoc, karena kasus Bjorka saja. Sangking cepatnya, kita bingung tukang es ditangkap, padahal nggak punya komputer, nggak bisa beli pulsa bisa jadi TSK. Tetapi infonya, pulangnya dikasih uang Rp 5 juta, ya kita nggak tahulah. Paling nggak aksi Bjorka ini mempercepat penyelesaian UU PDP," katanya.

Politisi Partai Golkar ini berharap berharap pemerintah lebih sigap lagi memperkuat perangkat hukumnya. Sebab, Saat ini, belum jelas siapa penanggung jawab dari 'wali data' keamanan siber, apakah Polri, BSSN, Kementerian Kominfo atau membentuk lembaga baru

"Nah, kita berharap setelah PDP ini, RUU Keamanan Siber perlu segera dibahas dan diselesaikan untuk menjaga data dan jaringan kita," tegasnya kembali.

DPR, lanjutnya, terus mendorong pemerintah untuk memberikan literasi digital kepada publik dalam berbagai forum, selain memperbanyak infrastruktur TIK di seluruh Indonesia.

Sehingga, kata Dave Laksono, masyarakat menjadi faham dan mengerti tentang penggunaan digital, dan bijak dalam berselancar di dunia maya.

Pakar Keamanan Siber dan Forensik Digital Alfons Tanujaya, meminta pemerintah jangan menganggap remeh aksi peretasan yang dilakukan Bjorka, meskipun data yang dibobol bersifat umum. 

Pemerintah harus berupaya melindungi data pribadi warganya seperti yang telah dilakukan Isreal.

"Israel sebagai contoh, tidak main-main sekarang sudah memiliki tim siber yang terkemuka di dunia. Tim bekerja dan dibiayai negara, dan dilakukan oleh talenta terbaik,"ungkapnya.

Alfons mengatakan, masyarakat Indonesia yang datanya  dibocorkan hanya pasrah dan berdoa saja, karena tidak bisa berbuat apa-apa.

"Jadi ketika kita dikasih telur 10 biji, dikasih tepung dan mentega, itu yang enak dibikin apa? Di tangan saya, itu paling jadi telur dadar atau telur mata sapi. Tetapi di tangan orang jago seperti Bjorka, itu bisa jadi kue yang paling enak," katanya.

Artinya, di tangan orang awam, big data itu tidak mengerti dan bingung digunakan untuk apa?  Sebaliknya, di tangan orang yang jago, big data tersebut bisa digunakan untuk pemenangan Pemilu 2024.

"Big data bisa digunakan untuk pemenangan Pemilu 2024, pemetaan penduduk di mana saja. itu yang perlu disadari," kata peneliti keamanan siber dari Vaksin.com

Karena itu, Alfons berharap agar big data dikelola sebagai amanah, bukan sebagai berkah. Sebab, ketika datanya bocor akan merugikan negara dan wargaya.

"Jadi saya berharap berharap kelola big data itu sebagai amanah, jangan sebagai berkah. Harus dilakukan sebagai amanah untuk menjaga data itu Tapi kalau sebagai berkah, lalu datanya bocor, maka kita akan mendapat musibah," tegasnya.