BIG : Penamaan Rupabumi Tidak Boleh Sembarangan

Faz • Monday, 8 Feb 2021 - 17:18 WIB

Jakarta – Presiden RI Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi pada tanggal 6 Januari 2021. 

Pengaturan penyelenggaraan nama rupabumi bertujuan melindungi kedaulatan dan keamanan wilayah NKRI, melestarikan nilai-nilai budaya, sejarah, dan adat istiadat serta mewujudkan tertib administrasi pemerintahan.

Penyelenggaraan nama rupabumi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahaan Daerah (Pemda) memerlukan peraturan pelaksanaan yang lebih rinci dan komprehensif.

Pemberian nama tempat dan rupabumi (toponimi) tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Selain akan menghilangkan identitas dan sejarah suatu tempat, penamaan yang keliru menggunakan istilah asing juga merugikan jati diri bangsa.

Kepala Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim Badan Informasi Geospasial, Ade Komara Mulyana mengatakan manfaat penamaan rupabumi bisa menjadi alat politik untuk menjaga kedaulatan suatu Negara. 

“Untuk kedaulatan suara Negara, penamaan rupabumi bisa menjadi alat politik kita ketika bernegosiasi dengan Negara lain. Misalnya dalam peta resmi Negara republik Indonesia tahun 2017 yang kita bersama-sama keluarkan kita merubah nama laut di sebelah utara natuna, dulu laut china selatan sekarang kita sebut laut natuna utara itu hak kita, selama wilayah itu termasuk wilayah kita, kita bebas memberikan nama, itu protes oleh Negara-negara lain. Tapi itu satu tanda bisa menjadi alat politik kita untuk mempertahankan kedaulatan kita,” ungkap Ade Komara dalam diskusi virtual Polemik Trijaya FM dengan tema ‘Pentingnya Penamaan Rupabumi’, Sabtu (6/2/2021).

Ade menambahkan nama suatu tempat erat kaitannya dengan asal usul masyarakat, sejarah, keterkaitan antar masyarakat, jati diri masyarakat, bahkan dapat memitigasi bencana alam.

“Yang cukup tragis ketika terjadi bencana likuifaksi di palu, ketika ada sebuah kampung yang tenggelam dipenuhi lumpur, kampung itu sekarang namanya Balarowa tapi ada komunitas sejarah di Sulawesi Tengah, dulu itu sekian generasi yang lalu ini namanya bukan Balarowa tapi Londo atau Nalondo, itu artinya lumpur atau tenggelam di lumpur, berarti nenek moyang kita sudah tau itu daerah yang rawan Likuifaksi, tapi mungkin dulu belum ada istilah likuifaksi nah itulah sejak dulu turun temurun daerah itu kosong tidak dihuni, karena masyarakat tau arti nama itu tenggelam di lumpur, nah sekarang kan jadi pemukiman akibatnya terjadi bencana seperti itu, jadi nama juga memberikan kearifan lokal yang seharusnya kita perhatikan,” tambahnya.

Terkait penamaan tempat, Ade mengingatkan pentingnya mempertahankan nama-nama geografis. Pengubahan nama secara sembarangan akan mengubah ikatan sejarah dan mengaburkan identitas.

Nama Rupabumi baku sangat penting dalam hubungannya dengan dunia internasional dan Indonesia terlibat aktif dalam forum United Nations Groups of Experts on Geographical Names (UNGEGN).

Rupabumi adalah permukaan bumi beserta objek yang dapat dikenali identitasnya baik berupa Unsur Alami maupun Unsur Buatan.