BPKN : Konsumen Jasa Penginapan Berbasis Aplikasi Kurang Terlindungi

Mus • Thursday, 15 Oct 2020 - 16:07 WIB
Ilustrasi kamar hotel

Jakarta - Saat ini dinamika perlindungan konsumen cukup menantang. Hal ini terlihat dari upaya perlindungan konsumen tidak dapat dilepaskan dari dinamika internasional dan nasional. 

Berbagai sektor industri ditantang untuk dapat beradaptasi dengan ekonomi digital. Hal tersebut mempengaruhi dimensi hukum, kebijakan, transaksi logistik, dan pengelolaan perlindungan konsumen. Ditambah lagi, saat ini konsumen Indonesia sudah dimanjakan dengan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi yang membawa pasar pada perekonomian digital. 

Baca juga: Kemenparekraf Kampanye We Love Bali, Perkuat Penerapan Protokol Kesehatan

Salah satu sektor usaha yang cukup terlihat jelas perkembangannya adalah usaha jasa penginapan. Kini usaha penginapan baik secara individu maupun korporat dapat berkolaborasi dan berkembang pesat dengan hadirnya sejumlah penyedia platform penginapan berbasis aplikasi digital.

Badan Perlindungan Konsumen Indonesia (BPKN) yang memiliki peran sebagai pemberi saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan Perlindungan Konsumen, menemukan beberapa data dan fakta tentang penginapan berbasis aplikasi atau yang sering dikenal sebagai Virtual Hotel Operator (VHO).

Baca juga: DPR Dukung Kemenparekraf Tingkatkan Kualitas SDM Pariwisata

Komisioner BPKN, Arief Safari, mengungkapkan bahwa tantangan saat ini yang dihadapi adalah terjadinya pandemi Covid-19 di awal tahun 2020. Pandemi ini menyebabkan startup jaringan hotel/penginapan menjadi salah satu sektor yang transaksinya merosot.

“Terdapat beberapa hotel yang harus tutup atau sementara tutup akibat Covid-19, seperti di wilayah Jawa Barat sebesar 41%, Bali 23%, Yogyakarta 14%, DKI Jakarta 12%, dan NTB 10%,” ungkap Arief di Jakarta, Kamis, (15/10).

Selain itu, Ia menambahkan, terdapat beberapa masalah jasa penginapan berbasis aplikasi yang sering diadukan ke BPKN, diantaranya kegagalan transaksi pada aplikasi/double booking, booking yang dicancel secara sepihak, proses refund yang tidak jelas dan/atau ditolak, fasilitas properti yang tidak sesuai dengan standar yang dijanjikan, dan miss informasi antara aplikasi dan operator properti.

“Setelah kami melakukan FGD dengan berbagai konsumen yang dilaksanakan pada tanggal 25 September 2020, terdapat beberapa hal yang perlu kita perhatikan yakni diperlukan kejelasan tentang pihak yang bertanggung jawab atas pemulihan hal konsumen apabila jasa penginapan yang ditawarkan tidak sesuai dengan realisasinya, perlunya penyelesaian sengketa konsumen secara online, perlunya perhatian penyelesaian sengketa lintas batas (cross border),” jelasnya. (Mus)