Kebutuhan Guru Inklusif, Kemendikbudristek Kembangkan Kebijakan Pendidikan Berjenjang

AKM • Tuesday, 2 Apr 2024 - 11:39 WIB

Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengembangkan pendidikan inkulsi untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada anak berkebutuhan khusus (disabilitas) pada pendidikan formal. 

Berdasarkan Data Desember 2023, menunjukkan terdapat 40.164 satuan pendidikan formal yang memiliki peserta didik berkebutuhan khusus, namun hanya 5.956 satuan pendidikan (14,83%) yang memiliki guru pembimbing khusus.

Koordinator Kelompok Kerja Pendidikan Inklusif, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbudristek Meike Anastasia mengatakan pihaknya  saat ini telah mengembangkan Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif.

“Inilah yang melatarbelakangi dikembangkannya Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif. Tujuannya adalah menghasilkan pendidik yang dapat mewujudkan pembelajaran dan pendidikan yang inklusif di satuan pendidikan,” ujarnya  dalam Media Gathering bersama Fortadikbud, Jakarta, Senin (1/4/2024).

Menurut Mieke, Kebijakan Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif ini, akan memberikan akses dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh pendidik Indonesia untuk melakukan pengembangan keprofesian tentang pendidikan inklusi sehingga dapat mewujudkan pembelajaran dan pendidikan yang inklusif di seluruh satuan pendidikan di Indonesia.

“Pembelajaran dilakukan secara mandiri oleh pendidik/tenaga kependidikan melalui Pelatihan Mandiri di Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang dapat diakses pada: https://guru.kemdikbud.go.id/pelatihan-mandiri/topik/115,” tambahnya.

Adapun skemanya adalah, pada tingkat dasar guru memiliki paradigma tentang pendidikan yang berpihak kepada semua murid termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Lalu pada Tingkat lanjut, guru diharapkan mampu untuk memfasilitasi pembelajaran untuk semua peserta didik, termasuk peserta didik berkebutuhan khusus. Dan pada Tingkat mahir, guru diharapkan dapat berperan sebagai konsultan dalam pengembangan pembelajaran dan advokasi pendidikan yang inklusif.

Melalui kebijakan Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif, Mieke yakin persoalan kurangnya SDM guru pembimbing khusus di sekolah-sekolah inklusi bisa diatasi. Dengan demikian tidak akan ada lagi anak berkebutuhan khusus yang tidak bisa mengakses pendidikan formal dengan alasan terbatasnya satuan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus.

“Data menunjukkan saat ini hanya 64% dari perkiraan jumlah anak penyandang disabilitas yang bersekolah. Alasannya antara lain biaya, learned helplessness, dan penolakan dari sekolah. “Penolakan sekolah biasanya karena alasan guru pembimbing khusus tidak ada,” jelasnya.

Meskipun kurikulum merdeka selaras dengan prinsip inklusivitas, kata Mieke, pada kenyataannya tidak semua sekolah dapat memberikan “teaching at the right level” dan pembelajaran berdiferensiasi untuk semua peserta didik. Itu mengapa melalui kebijakan Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif, diharapkan tidak ada lagi penolakan sekolah terhadap siswa berkebutuhan khusus dan pada akhirnya semua anak-anak berkebutuhan khusus bisa mendapatkan hak pendidikannya sesuai Undang-Undang. Mereka tidak harus sekolah di SLB yang jumlahnya memang terbatas.

“Dalam satu rombongan belajar, maksimal hanya ada 3 siswa berkebutuhan khusus yang diijinkan. Jadi memang disesuaikan dengan kemampuan guru pendamping khusus di lapangan,” tandas Mieke.