Seruan Aliansi Kebangsaan Terkait Pemilu 2024

ANP • Monday, 12 Feb 2024 - 22:47 WIB

JAKARTA – Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo menilai Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada hari Rabu tanggal 4 Februari 2024, merupakan momen tepat untuk kembali menyehatkan demokrasi, mengembalikan pemerintahan ke jalur yang sesuai dengan Pancasila sebagai titik temu, titik tumpu dan titik tuju bersama. Karena itu sebagai bagian integral Pemilu 2024, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden amatlah penting bagi segenap warga negara-bangsa Indonesia.

“Pemilu 2024 bisa dikatakan merupakan hajatan politik yang strategis untuk kembali ke fitrah cita negara, dengan menggalang kekuatan dan partisipasi rakyat, demi memperbaiki pelaksanaan demokrasi, sesuai dengan cita negara dan cita hukum Pancasil,” kata Pontjo pada FGD dengan topik Refleksi Kebangsaan: Memaknai Pemilu 2024 yang digelar pada Senin (12/02/2024).

Menurut Pontjo berbagai kekisruhan dan kemerosotan demokrasi Indonesia di sekitar Pemilu 2024 bukan hanya mencerminkan defisiensi etika politik perseorangan, melainkan harus dilihat pula sebagai resultante dan kulminasi dari berbagai kelemahan rancang bangun serta malpraktek pemerintahan dan kewargaan selama ini.

Pontjo mengingatkan bahwa eksistensi dan kejayaan suatu negara-bangsa ditentukan oleh kesanggupannya merawat akar tradisi baik disertai inovasi yang tepat dan terukur dengan kemampuan memberikan respons yang ampuh untuk mengatasi dan meniadakan dampak negatif tantangan, ancaman dan gangguan yang dihadapinya.

Daya respons yang ampuh itu memerlukan perpaduan 3 elemen esensial, yaitu perpaduan antara kekuatan etos dan etika kewargaan untuk mengokohkan basis karakter, daya juang dan kohesi sosial, yang merupakan ranah tata nilai mental- kultural; tata kelola negara yang dapat menjamin tegaknya negara hukum, negara persatuan, dan negara keadilan sebagai ranah institusional-politikal; dan tata sejahtera perekonomian berkeadilan dan berkemakmuran melalui mekanisme redistributif atas harta, kesempatan dan privelese sosial disertai penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah atas karunia sumberdaya terberikan, sebagai ranah material-tehnologikal.

Kendati setelah 25 tahun reformasi, bangsa Indonesia dapat dikatakan meraih berbagai kemajuan inkremental, namun lanjut Pintjo, perlu dicatat secara objektif bahwa kemajuan yang dicapai tersebut berdiri di atas landasan yang rapuh.

Pada ranah tata nilai mental-kultural, misalnya, politik sebagai tehnik mengalami pencanggihan, tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Politik dan etika terpisah seperti minyak dan air. Dengan meluluhnya dimensi etik, Indonesia sebagai bangsa majemuk kehilangan basis dan simpul rasa saling percaya dan menghargai. Tanpa basis integritas, cita persatuan menjelma menjadi persatean.

“Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan dirayakan dengn surplus ritual dan ucapan, namun miskin dalam penghayatan dan pengamalan. Dalam realitasnya, Pancasila tidak lagi dijunjung tinggi sebagai titik temu, titik tumpu dan titik tuju kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Pontjo.

Lalu pada ranah tata kelola kenegaraan, kebebasan yang dimungkinkan demokrasi harus dibayar mahal dengan robohnya rumah tradisi kekeluargaan. Desain demokrasi dan kelembagan negara menyimpang dari prinsip negara hukum, negara persatuan dan negara keadilan seperti dikehendaki oleh cita negara Pancasila.

“Sistem demokrasi prosedural yang menekankan keterpilihan individu dalam system pemilu yang padat modal telah merusak prinsip-prinsip kesetaraan politik dan kesetaraan kesempatan sehingga melahirkan demokrasi degeneratif di bawah tirani oligarki,” jelasnya.

Di bawah tirani oligarki, pilihan kebijakan dan tindakan pemerintahan terdistorsikan komitmennya untuk melaksanakan misi negara, yaitu: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdas kan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Sedang pada tata ranah sejahtera, Pontjo melihat bahwa demokrasi politik tidak berjalan seiring dengan demokrasi ekonomi. Kesenjangan sosial makin lebar karena pengabaian prinsip keadilan dalam distribusi harta, kesempatan dan previlise sosial.

Selain itu, Indonesia dengan potensi sumberdaya alam yang berlimpah justru tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara berdaulat. Paradigma ekonomi lama dengan prinsip asal bisa mengimpor dengan murah harus diakhiri. Terperangkap dalam prinsip itu membuat kita kehilangan wahana peningkatan kapabilitas belajar untuk mengolah dan mengembangkan nilai tambah potensi sumberdaya kita.

“Tanpa usaha menanam dan memproduksi sendiri dengan penguasaan teknologi sendiri, kita akan terus mengalami ketergantungan dan deficit neraca perdagangan, tidak dapat mengembangkan kemakmuran secara luas dan inklusif,” tegasnya

Menurut Pontjo, mengembangkan kemandirian dengan jiwa merdeka harus segera dilakukan oleh bangsa Indonesia. Artinya bahwa harus dipastikan yang berkembang di negeri ini bukan sekedar pembangunan di Indonesia, tapi pembangunan Indonesia, yaitu pembangunan dari, oleh, untuk seluruh rakyat Indonesia dan kemudian untuk dunia.

Serukan Aliansi Kebangsaan

Karena itulah, menjelang hajatan Pemilu 2024, Aliansi Kebangsaan menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia hal-hal sebagai berikut:

Pertama, kembali ke fitrah cita negara dengan pintu masuk melalui mekanisme kembali ke Konstitusi Proklamasi, 18 Agustus 1945. Bila diperlukan, penyempurnaan dilakukan secara bertahap dengan cara addendum.

Kedua, perlu memperkuat kembali fundamen etika publik dan budaya kewargaan inklusif berlandaskan Pancasila, yang mewujud dalam jati diri bangsa yang tangguh dan warga negara yang kompeten, yang dibudayakan lewat pendidikan karakter kewargaan di semua bidang dan lapis kehidupan.

Ketiga, Aliansi Kebangsaan menyerukan untuk kembali ke sistem pemerintahan sendiri dengan merestorasi sistem demokrasi Pancasila yang menjunjung tinggi negara hukum, negara persatuan dan negara keadilan. Dalam rangka mewujudkan politik inklusif yang dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan.

“Dalam sistematika negara kekeluargaan, yang dapat menjaga keselarasan antara pembangunan negara dan pembangunan bangsa, kemakmuran material dan spiritual, kemerdekaan individu dan harmoni sosial, dengan semangat gotong royong yang melibatkan partisipasi segenap komponen bangsa, dengan pembagian peran yang tepat antara negara, komunitas dan dunia usaha,” lanjut Pontjo.

Lalu keempat, Aliansi Kebangsaan menilai perlunya kesungguhan komitmen untuk mewujudkan ekonomi moral Pancasila dalam rangka mencapai kemakmuran yang inklusif. Dengan mengupayakan keseimbangan antara keadilan (pemerataan) dan kemakmuran (pertumbuhan) melalui semangat perekonomian merdeka; berlandaskan usaha tolong-menolong (kooperatif), disertai penguasaan negara atas “karunia kekayaan alam bersama” serta atas cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; seraya memberi nilai tambah atas karunia terberikan dengan input pengetahuuan dan teknologi.

Dan kelima, Pemilu 2024 merupakan hajatan politik yang strategis untuk kembali ke fitrah cita negara, dengan menggalang kekuatan dan partisipasi rakyat untuk memperbaiki pelaksanaan demokrasi, sesuai dengan cita negara dan cita hukum Pancasila. Oleh karena itu diperlukan upaya yang serius dari segenap komponen penyelenggara dan warga negara untuk memastikan Pemilu berjalan dengan taat asas, taat nilai etis, taat hukum, taat prosedur dan taat tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seluruh pihak mesti menjadi pilar bagi penyelenggaraan Pemilu yang memberikan ruang autentik bagi rakyat untuk memanifestasikan kedaulatan mereka dalam memilih para penyelenggara negara, pada cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif di tingkat pusat dan daerah, untuk mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Pada kesempatan yang sama, Titi Anggraini, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Pengajar Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mengatakan bahwa Pemilu 2024 merupakan agenda kolosal dan terbesar demokrasi Indonesia. Karena pada momen bersamaan digelar Pemilu serentak legislatif dan presiden pada 14 Februari 2024 serta pilkada serentak nasional pada 27 November 2024: Pilgub 37 provinsi dan 508 pilbup/pilwalkot.

“Pemilu14 Februasi 2024 menjadi satu hari terbesar di dunia dengan kompleksitas teknis paling rumit di dunia,” jelasnya.

Dengan masa Kampanye sangat pendek (75 hari), pencalonan mepet, penyelenggara pemilu sangat sibuk dengan pelaksanaan teknis tahapan pemilu, serta peredaran isu terlalu banyak. Akibatnya, publik tidak fokus pada politik gagasan dan mudah terkecoh oleh sebaran isu yang terlalu banyak, konsolidasi partai kedodoran, penyelenggara pemilu permisif pada profesionalitas penyelenggaraan tahapan pemilu.

“Pemilih cenderung emosional, sederhana, dan mau yang simpel-simpel saja. Informasi yang sensasional dan kontroversial lebih mudah untuk diterima,” katanya.

Titi juga melihat beberapa tantangan yang dihadapi dalam Pemilu 2024. Diantaranya bahwa Pemilu legislatif cenderung diabaikan pemilih. Pemilih terlalu terfokus pada pemilu presiden. Misal, pemilih tidak tahu dapilnya ada di mana, siapa caleg di dapilnya.

Selain itu, sistem pemilu dan tata cara pencoblosan yang amat rumit meningkatkan suara tidak sah pemilih. Banyak suara pemilih masuk kategori suara tidak sah.

“Kesulitan akses pada informasi dan pendidikan pemilih (information and voter education). Mudah terpapar misinformasi dan disinformasi. Minim akses informasi dan literasi kepemiluan serta peredaran hoaks membuat pemilih kelompok rentan dan marjinal makin terpinggirkan (perempuan, disabilitas, masyarakat miskin, masyarakat adat,” katanya.

Sosialisasi yang telah dilakukan pemerintah, nyatanya tidak mampu menjangkau secara optimal dan inklusif, dampaknya public kesulitan memahami prosedur pemilu yang benar dan mengenali peserta pemilu apalagi mencermati rekam jejaknya.

Titi juga melihat adanya politik uang di pemilu mulai dari jual beli nomor urut, jual beli suara, dan masih adanya praktik suap untuk memanipulasi suara mendidtorsi kemurnian suara pemilih.

Selain Titi Anggraini, FGD yang dimoderatori oleh Nurrachman Oerip (Pengurus YSNB) tersebut juga menghadirkan Prof. Dr. Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal), Dr. Ferry Daud Liando (Wasekjen PP AIPI) dan Dr. Moch. Isnaeni Ramdhan, S.H., M.H (Dosen HTN Univ. Pancasila).