Aliansi Kebangsaan: Parpol Picu Terjadinya Demokrasi Digital

ANP • Saturday, 14 Oct 2023 - 09:27 WIB

JAKARTA – Dalam era reformasi  telah membuat kedudukan partai politik semakin kuat. Lembaga ini merupakan satu-satunya ruang atau kanal yang tersedia bagi rakyat Indonesia untuk menyalurkan hak politik (political right) dan kepentingan politiknya baik dalam hal pengelolaan negara maupun dalam hal memilih kepemimpinan nasional dan daerah.

Selain itu, partai politik juga memiliki tugas untuk melaksanakan fungsi-fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat sebagai prasyarat kehidupan politik yang demokratis.

Namun menguatnya kedudukan dan peran partai politik tersebut tidak diikuti oleh menguatnya demokrasi partisipatoris yang mampu meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses politik. Pola relasi partai dengan massa pemilihnya justru semakin berjarak dan hanya tampak selama masa kampanye pemilihan umum.

Hal itu disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Menuju PostParliamentary Politics: Mencari Model Representasi Politik yang Inklusif” sebagai rangkaian dari “Diskusi Serial Kebangsaan” yang digelar Aliansi Kebangsaan, bekerjasama dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, FKPPI, HIPMI, dan Harian Kompas, Jumat (13/10/2023).

Menurut Pontjo, pola relasi ini menyebabkan peran partai politik semakin surut sebagai saluran artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat, sebaliknya lebih menampakkan dirinya sebagai ekstension dari elite pemimpinnya dan ekstension dari kekuatan-kekuatan oligarki.

“Beberapa kajian terbaru menunjukkan, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, kedudukan dan peran partai politik dan parlemen justru menjadi sarana untuk melanggengkan kekuasaan, untuk mempertahankan dominasi kekuasaan ekonomipolitik,” tegas Pontjo.

Belum lagi persoalan di dalam tubuh partai itu sendiri, dimana intra party democracy masih menjadi persoalan besar yang dihadapi hampir semua partai politik. Partai masih sangat tergantung kepada ketuanya dalam pola relasi patronase-klientelistik, dengan corak pengambilan keputusan yang didominasi oleh “Sang Ketua”.

Masalah lainnya terkait pendanaan partai (party financing) yang terbatas (kecuali pada partai-partai tertentu). Keterbatasan dana menyebabkan partai politik rawan “diintervensi” kekuatan modal ekonomi-politik dari luar dirinya, yang pada gilirannya mengukuhkan pengaruh oligarki dalam tubuh partai sekaligus dalam kehidupan politik secara luas.

Ia mengatakan hadirnya system multipartai sejak reformasi tahun 1998, pada awalnya menjadi harapan besar bagi perkembangan demokrasi yang lebih baik di Indonesia. Namun setelah 25 tahun reformasi berjalan, eksistensi dan peran partai politik ternyata tidak sebagaimana diharapkan semula. Sistem multipartai yang bergandengan dengan sistem presidensialisme justru menghasilkan suatu model kompromi politik yang tidak berimbang. Kekuatan mayoritas di parlemen justru kehilangan daya kritisnya dan sebaliknya menjadi pendukung pemerintah sehingga prinsip check and balances kurang berfungsi.

“Fakta-fakta tersebut memperkuat penilaian bahwa sistem politik Indonesia semakin elitis, monolitik, dan oligarkis, dan sebaliknya makin minim partisipasi politik rakyat,” tegas Pontjo.

Fenomena Demokrasi Digital

Berbagai kelemahan partai politik sebagai representasi politik dan saluran artikulasi politik rakyat yang berdampak pada memburuknya kualitas demokrasi di Indonesia, diakui Pontjo secara langsung atau tidak langsung ikut mendorong munculnya beberapa fenomena politik baru sebagai respons masyarakat atas realitas tadi. Salah satu fenomena tersebut adalah menguatnya peran demokrasi digital (digital democracy) dalam semua aspek kehidupan politik. Masyarakat menggunakan kecanggihan teknologi digital sebagai medium baru artikulasi politik.

“Dengan model demorasi digital, aspirasi dan kepentingan berbagai kelompok masyarakat kini tidak lagi disalurkan melalui partai politik dan parlemen, melainkan melalui media sosial yang terbukti cukup efektif,” tambah Pontjo.

Menguatnya pengaruh demokrasi digital ini kemudian diikuti dengan kemunculan kelompok-kelompok di luar partai politik dan parlemen yang semakin kuat menjalankan fungsi dan peran sebagai “pressure groups” yang punya implikasi politik. “Menjadi pertanyaan penting, apakah fenomena demokrasi digital dan kemunculan kelompok-kelompok baru yang semakin kuat berperan sebagai pressure groups merupakan gejala awal pergeseran peran lembaga-lembaga politik formal yang mulai beralih ke kekuatan-kekuatan sosial baru dalam masyarakat ?” ujar Pontjo.

Di Eropa Barat, fenomena “post-parliamentary politics” dalam beberapa dekade lalu, telah menandai semakin bergesernya peran lembaga-lembaga politik formal seperti partai politik dan parlemen yang beralih kepada kelompok-kelompok sosial baru di Masyarakat. Kelompok baru tersebut dinilai lebih mampu berperan sebagai saluran artikulasi baru. Ketidakpuasan atas peran dan kinerja partai politik di parlemen mendorong munculnya lembaga-lembaga baru sebagai penyalur aspirasi politik dan kepentingan rakyat, yaitu lembaga-lembaga “keagenan politik” atau “political agency”.

Lembaga-lembaga “political agency” ini secara perlahan tapi pasti mulai muncul sebagai model alternatif representasi politik baru yang mampu menjalankan fungsifungsi artikulasi dan agregasi kepentingan publik yang sebelumnya dijalankan oleh partai-partai politik. “Lembaga-lembaga “political agency” ini beroperasi di luar tatanan politik formal; dia adalah jaringan-jaringan sosial baru yang ditopang kekuatan jaringan digital dengan memproduksi dan menyebarkan ide-ide pada level akar rumput,” jelas Pontjo.

Melalui FGD kali ini, Pontjo berharap para narasumber sebagai ilmuwan politik maupun segenap peserta FGD untuk ikut memikirkan dan mencari solusi bagaimana memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam sistem kepartaian kita serta bagaimana mendorong partai politik dan parlemen agar mampu berfungsi sesuai kedudukan dan perannya sebagai lembaga representasi politik rakyat yang mandat utamanya adalah memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat.

FGD yang dimoderatori Pakar Aliansi Kebangsaan, Manuel Kaisiepo S.IP., MH tersebut menghadirkan narasumber Direktur Kebijakan Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan BRIN, Moch. Nurhasim M.Si, Sosiolog UGM M Najib Azca PhD, dan Peneliti BRIN Irine Hiraswari Gayatri, PhD.