Peluang Kemajuan Bangsa, Negara Diminta Segera Antisipasi Perkembangan AI 

AKM • Thursday, 13 Jul 2023 - 14:01 WIB

Jakarta - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebaiknya mengundang partai politik (parpol) untuk menyampaikan proposal mengenai pandangannnya tentang masa depan umat manusia dan agama.

Hal ini penting untuk menjawab problem-problem bangsa saat ini di tengah tren penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang kian marak di Indonesia.

"Fisiknya, manusia itu sudah dicoba diganti dengan robot. Sekarang ini, pikiran manusia atau akal manusia, coba diganti artificial intelligence. Lalu, Bagaimana nasib the next generation, manusia yang akan datang," kata Wakil Ketua Umum partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah, dalam sebuah diskusi, Jakarta, Rabu (12/7).

Fahri menilai AI bisa menjadi pintu bagi kelahiran agama baru yang akan membuat kitab sucinya sendiri. 

"Saya kira percakapan soal AI ini juga harus menjadi perhatian para agamawan. Makin lama makin mengkwatirkan, karena dia semakin mirip manusia. Dalam perspektif agama ini seperti Tuhan menciptakan manusia," katanya.

Kehadiran AI ini, kata Fahri, seperti mengingatkan memori dialog penciptaan manusia yang dikwatirkan malaikat kepada Tuhan, bahwa manusia akan membuat kerusakan di bumi. Tetapi, kemudian Tuhan menjawab lebih mengetahui mengenai misteri ini.

Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini  menegaskan, bahwa kehadiran AI kelihatannya semakin mempermudah pekerjaan manusia dalam segala hal. Namun sebaliknya, justru ada disrupsi teknologi dan bahaya besar yang akan mengancam umat manusia. 

"Kalau berkenan BRIN bisa mengundang kita untuk menyampaikan pandangan masa depan umat manusia atau masa depan agama. Partai Gelora akan memaparkan proposal konprehensif untuk menjawab problem-problem ini," katanya.

Menurut Fahri, kehadiran parpol di BRIN untuk menyampaikan pandangannya tentang masa depan dapat menjawab mengenai kegamangan dan kegelisaan secara umum tentang masa depan kita dan umat manusia.

"Dan di kita ini, kita punya kontra naratif yang sangat banyak. Kita ini masih mengadu domba antara agama dan sains. Kita masih bertengkar antara budaya dengan pengetahuan, akibatnya  antara peneliti dan politisi tidak mantap dalam meletakkan pilar-pilar inti peradaban," katanya.

Karena itu, hal-hal seperti ini harus diselesaikan, apakah sains dibawa komando negara atau tidak. Sehingga para peneliti atau akademisi yang memiliki riset tidak terus di belakang layar, harus ada keberanian untuk tampil ke depan. 

"Sekarang kita tidak punya mekanisme untuk menginterversi public education yang baik. Dan saya kira ini PR temen-temen BRIN. Lembaga pendidikan dan universitas harus memfasilitasi percakapan mengenai AI ini," kata calon legislatif daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat dari Partai Gelora ini.

Dengan memahami kemajuan teknologi terbaru ini, lanjut Fahri, menjadi kesempatan Indonesia untuk mendaur ulang literasi bangsa kita, sehingga memiliki kesadaran sainstifik.

"Sehingga kita betul-betul bisa tumbuh menjadi bangsa yang punya kapasitas dalam menghadapi masa depan. Ini adalah proyek besar Partai Gelora, membuat revolusi pendidikan. Kita perlu kerjasama dengan para akademisi untuk berani mengambil tanggung jawab dan tantangan-tantangan masa depan," katanya.

Fahri menegaskan, hilangnya pekerjaan-pekerjan rutin manusia yang akan digantikan robot dan jiwanya diganti AI pada masa akan datang harus segera diantisipasi negara.

"Negara harus lebih cepat punya antisipasi terhadap perkembangan seperti ini. Bangsa Indonesia tidak boleh terus-menerus menjadi konsumen bagi perkembangan seperti ini," katanya.

Perkembangan ini, lanjutnya, juga harus menjadi percakapan serius antara pejabat dan politisi agar masyarakat tidak cemas, serta menjadikanya sebagai peluang untuk memperbaiki masa depan kita.

"Artificial intelligence yang dibuat manusia harus menjadi peluang kita untuk memperbaiki masa depan kita. Harusnya digunakan untuk merevisi begitu banyak kerusakan yang dibuat oleh manusia, bukan untuk menambah kerusakan baru di masa yang akan datang," pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Riset Pendidikan BRIN Dr. Trina Fizzanty mengatakan, perkembangan AI sekarang menjadi tantangan bagi para ilmuwan. Perbincangan soal ini menjadi hangat, karena yang dibicarakan mengenai ancaman dan peluang

"Di bidang pendidikan dan manajemen waktu, munculnya teknologi ini sangat membantu.  Sehingga semua negara saling kejar-kejaran dalam dalam mengembangkan teknologi ini," kata Trina.

Di Indonesia sendiri, kata Trina, penggunaan AI baru sebatas untuk pendidikan online untuk mempermudah para siswa atau mahasiswa. 

"Tetapi pemanfaatan AI ini perlu memperhatikan aspek kemanusiaannya seperti etik, bahkan nilai-nilai karakter Pancasila menjadi bahasan riset kami. Karena nanti akan ada pergeseran nilai dari tadinya produktif, menjadikan kurang produktif dengan adanya perkembangan teknologi," ujarnya.

BRIN berpandangan jika berbicara peluang maka, penggunaan AI ini harus dibarengi dengan pembelajaran berbasis karakter dan memasukkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat.

"BRIN khawatir, bahwa ini akan menyebabkan persoalan tentang etika, sehingga bisa menjadi perhatian kita semua. Jadi kalau kita bicara ancaman atau peluang, pada intinya sebenarnya soal kode etik. Disinilah perlunya kita regulasi-regulasi untuk mengantipasinya," kata Kepala Pusat Riset Pendidikan BRIN ini.

Pengamat Kebijakan Publik Dr. Trubus Rahadiansyah mengatakan, pemerintah belum memiliki aturan yang jelas mengenai penggunaan AI dari segi undang-undang, maupun aturan perundang-undangan lainnya.

"Sehingga kalau ada pengaduan-pengaduan selama ini yang terkait penggunaan AI, kebanyakan akhirnya masuk angin. Aduan masalah penggusuran, kemacetan, banjir dan lain-lain akhirnya tidak berjalan efektif," kata Trubus. 

Kebijakan yang diterapkan pemerintah, lanjut Trubus, harus bertanggungjawab sebagai bentuk inovasi, sehingga tidak menjadi beban masyarakat dan menimbulkan persoalan baru.

"Di pendidikan, penggunaan AI justru akan membuat mahasiswa semakin malas dengan adanya peluang untuk menciptakan aplikasi-aplikasi yang mempermudah dirinya," paparnya.

Trubus menilai masyarakat Indonesia belum siap menggunakan AI, karena sebagian besar masyarakatnya masih di kategorikan menengah terdidik, kalah jauh dengan masyarakat di Amerika, Rusia atau Jepang. 

"Masyarakat kita belum siap menggunakan aplikasi-aplikasi berbasis AI ini. Aplikasi-aplikasi yang ada banyak yang tidak digunakan. Dari riset kita misalnya, masyarakat yang akan membeli minyak goreng Rp 14.000 harus menggunakan aplikasi, itu tidak digunakan karena kesulitan. Masyarakat kita sebagian masih dikategorikan menengah terdidik," katanya.

Trubus menilai penggunaan AI agar tepat sasaran sebaiknya digunakan untuk mencegah penyimpangan administrasi yang menimbulkan praktik-praktik korupsi.

"Kecerdasan buatan ini sangat tepat digunakan untuk penyaluran bansos agar tepat sasaran, sehingga keberadaan teknologi bisa bermanfaat bagi masyarakat, mencegah penyimpangan administrasi dan praktik-praktik korupsi," katanya.