Menangani Isu Perubahan Iklim: Genderless dan Setiap Bagian Masyarakat Harus Berperan

LAN • Tuesday, 9 May 2023 - 21:10 WIB

Kondisi Indonesia saat ini sedang mengalami iklim yang berubah-ubah, tidak lagi serupa dengan apa yang selama ini kita pelajari di sekolah dasar, yaitu 6 bulan musim kemarau dan 6 bulan musim hujan.

Tidak jarang cuaca terik tanpa hujan melanda Jakarta, namun keesokannya matahari justru terselimuti awan mendung dan disusul dengan guyuran hujan lebat sepanjang hari.

Menanggapi isu iklim dan lingkungan tersebut, Ir. E. P. Fitratunnisa, ME selaku Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Jakarta menyatakan bahwa Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (ILKH) Jakarta beberapa tahun yang lalu memang masih terbilang buruk, yaitu berada di kisaran 37-38.

Fitri menyatakan, nilai ILKH ini tidak semata-mata dipengaruhi oleh populasi dan aktivitas masyarakatnya, tetapi juga dipengaruhi dengan fakta bahwa Jakarta merupakan hilir dari berbagai daerah di sekitarnya, sehingga sangat memungkinkan bahwa sejatinya pencemaran sudah terjadi juga di daerah hulu.

“Untuk (kualitas) air masih sangat sulit. Uji emisi juga membantu (menjaga kualitas aspek udara), tapi sayangnya daerah di sekitar Jakarta belum ikut menerapkan hal ini. Padahal banyak sekali kendaraan yang keluar masuk Jakarta per harinya,” kata Fitri kepada Radio Trijaya dalam Suara Perempuan, Selasa (9/5/23).

Isu lingkungan erat kaitannya dengan komunitas jurnalis yaitu The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) yang saat ini sudah berdiri selama 17 tahun dan berbasis nasional dengan 130 anggota jurnalis yang telah terverifikasi.

Menurut Fira Abdurachman selaku sekretaris general SEIJ, isu lingkungan belum menjadi isu yang mudah dan ringan dibicarakan, mengingat terkadang isu ini terkadang sifatnya sangat elitist ketika muncul president statement atau dilaksanakannya konferensi. 

Kemudian setelah isu lingkungan tersebut mulai dilupakan, tiba-tiba isu ini bisa berada di posisi bawah terutama saat ada aksi yang dekat dengan konflik, seperti aksi penolakan atau kerusuhan.

Mendukung pernyataan Fitri di atas, Fira juga menyatakan bahwa penanganan isu lingkungan dan iklim ini menjadi tanggung jawab semua orang dan semua pihak dalam masyarakat, tidak terbatas oleh posisi di masyarakat apalagi masalah gender.

Sampah yang pasti dihasilkan oleh sebagian masyarakat di tengah era kemajuan teknologi ini adalah sampah hasil belanja online karena saat ini Indonesia belum memiliki metode atau sarana pengelolaan sampah tersebut.

“Seharusnya kapital besar turut memikirkan soal sampah ini. Sama seperti perokok yang menyumbang sampah puntung rokok. Ini bukan masalah merokok salah atau tidak, ya. Tapi, produsennya (rokok) juga harus disalahkan, karena nggak menciptakan sistem pembuangan puntung rokok. Jangan juga menyalahkan sampah dapur karena dari dulu begini adanya. Tetapi perlu ada sistem pembuangan sampah dapur yang diciptakan. Jangan juga menyalahkan perempuan aja,” kata Fira.

Dalam isu ini, perempuan kerap menjadi kambing hitam sebagai pelaku utama penyumbang sampah, karena dianggap lekat perannya dengan dapur dan rumah tangga.

Padahal, United Nations atau PBB sendiri dalam websitenya menulis bahwa perempuan masih menjadi isu downscale, karena belum ada penghargaan bagi mereka meskipun perannya dalam menangani isu climate change sangat besar. 

“Sekarang kita masuk era Artificial Intelligence, mari kita ramaikan dunia komunikasi medsos dengan isu lingkungan. Cukup (mulai) dari kehidupan sendiri kayak sampah belanja, skincare, sehingga isu ini jadi lebih ringan untuk dibicarakan semua orang. Ajakan ini berlaku bagi setiap bagian dr masyarakat termasuk kreator dan influencer yang bisa sangat berperan dalam mensosialisasikan isu ini.” tutup Fira (Iftikhor)