Pasar Pilih Kemasan Sehat. Market Share AMDK Galon Bening Melonjak

ANP • Saturday, 18 Mar 2023 - 16:37 WIB

JAKARTA - Berdasarkan data terbaru, market share galon bening  ternyata terus meningkat. Padahal, galon bening kerap menjadi target kampanye negatif, sebagai bagian dari upaya mempertahankan dominasi pasar air minum dalam kemasan (AMDK) polikarbonat berwarna gelap yang dikuasai investasi asing. 

Fakta ini terbaca dari data mutakhir pada 2022 yang mencatatkan market share AMDK galon bening dari plastik jenis Polyethylene Terephthalate (PET), meningkat menjadi 8% dari sebelumnya 6%. Sebaliknya, market share galon guna ulang dari plastik keras polikarbonat yang didominasi market leader, merosot menjadi 92% dari sebelumnya 94%. 

Market leader memang masih menguasai pasar, walau secara perlahan mulai dikikis para pelaku usaha dalam negeri. Informasi tentang AMDK galon bening yang lebih sehat dan aman untuk keluarga, ternyata lebih meyakinkan banyak konsumen.

“Selama puluhan tahun, karena ketidaktahuan mereka, konsumen mengkonsumsi air dari kemasan galon yang berpotensi membahayakan kesehatan, pemerintah jelas punya kewajiban untuk melindungi masyarakat dan sudah mengambil langkah tepat sebelum terlambat,” kata Eko. Polikarbonat adalah plastik keras yang mengandung bahan kimia Bispenol-A (BPA).

“Dari 30-40 juta galon yang beredar di Indonesia saat ini, sebanyak 90 persen adalah galon guna ulang polikarbonat,” kata Eko Susilo, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Air Minum Kemasan Nasional (Asparminas), belum lama  ini, di Jakarta.

Yang tak kalah menggembirakan, kata Eko, saat ini memang sedang  terjadi peningkatan pasar untuk produk-produk AMDK di luar market leader. 

“Pertumbuhan produsen air minum kemasan di luar pemain besar tumbuh 2 digit, di mana hal tersebut menjadi kabar baik bagi kami, produsen air minum kemasan lokal,” kata Eko. 
Mengutip data terbaru yang dikeluarkan Asparminas pada awal 2023, pertumbuhan pasar  AMDK galon pada 2022 mencapai angka 4% dan pemain besar yang dikuasai investasi asing cenderung stagnan. Artinya, pemain-pemain menengah dan kecil lainnya di luar pemain besar, telah berhasil melakukan inovasi dan meningkatkan daya saing, sehingga bisa merebut pasar dari pemain besar. 

“Pelaku usaha bisa lebih inovatif dan lebih tenang dalam menjalankan usaha air minum karena sudah sesuai regulasi pemerintah, dan masyarakat juga diuntungkan karena kesehatan mereka bisa lebih terjaga,” paparnya.

Eko  mengatakan, produsen air minum kemasan lokal yang berjumlah 95% lebih tersebar di seluruh pelosok nusantara. 

“Mereka (pelaku usaha dalam negeri) harus terus berinovasi dan meningkatkan daya saing, sehingga bisa berkontribusi pada pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di daerah masing-masing,” katanya. 

Berdasarkan olahan data dari berbagai sumber, market leader AMDK di  Indonesia  diketahui menguasai kurang lebih 50% market share, walaupun diyakini bahwa penguasan  mereka yang sebenarnya berkisar lebih dari 50% karena tidak termasuk merek kedua milik market leader. 

Sementara itu, beberapa merek produk lokal seperti Cleo, Club, Le Minerale, 2 tang, Oasis, Prima, dan  Super O2, masing-masing hanya menguasai 1%-5% market share. Sisanya, dikuasai merek lain yang mayoritas berada di kelas 0,01% - 0,08%. 

Market share pelaku usaha menengah dan kecil ini tentu saja masih jauh di bawah market leader yang menguasai lebih dari separuh pasar AMDK di Indonesia.

Eko mengatakan, saat ini ada 1.200 pelaku industri air minum dalam kemasan, dengan  volume air minum 35 miliar liter per tahun, 2.100 merek dan 7.000 lebih izin edar. 
Eko  sebelumnya juga pernah mengatakan bahwa pelaku industri AMDK sebetulnya mampu menghemat biaya produksi hingga Rp1,5 triliun per tahun.

Penghematan signifikan ini bisa diraih bila mereka mau meninggalkan galon polikarbonat yang notabene masih import, dan beralih menggunakan galon dari jenis plastik PET produksi dalam negeri yang lebih kompetitif dan mudah di daur ulang.

“Jadi, seharusnya sumber dari dalam negeri yang melimpah yang justru  didukung, bukan tetap memaksakan impor. Selain tidak sehat dan tidak kompetitif, industri yang tetap melakukan impor ini jelas tidak sehat,” katanya.