Bisnis Air Minum Dalam Kemasan Seharusnya Ditata Ulang

ANP • Tuesday, 22 Nov 2022 - 17:14 WIB

Jakarta - Konsumen tak pernah diberitahu, bahwa harga pertama pembelian galon yang dipatok sebesar rata-rata Rp55.000/galon itu ibarat kontrak jangka panjang. Konsumen diikat agar terpaksa beli produk satu merek, dan untuk pembelian  selanjutnya mengeluarkan biaya antara Rp18.000-22.000/galon.

Jadi, transaksi harga pertama itu dianggap beli putus, dengan tidak adanya jaminan galon yang dibeli juga dalam kondisi baru.  

“Bisnis AMDK galon di Indonesia sangat tidak sehat dan merugikan konsumen,” kata Tjahjanto Budisatrio, pakar ekonomi dan bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, di Jakarta (19/11). “Sistem ketergantungan yang sengaja dibangun untuk mengikat konsumen melalui pembelian galon secara beli putus, justru membuat pengusaha tidak akan rugi.” 

Pasalnya, konsumen yang sudah beli galon bekas pakai  bakal terikat dan bergantung, serta tak bisa pindah ke lain galon, karena galon yang sudah dibeli tak bisa ditukar dengan galon merek lain.

“Faktanya, uang yang sudah tertanam tersebut sudah menjadi keuntungan tersendiri bagi produsen. Konsumen sudah bayar di muka, tapi kenyataannya yang didapatkan bukan galon baru, tapi galon lama,” katanya.

Tambahan keuntungan yang didapatkan produsen  AMDK galon juga bisa didapat dari sisi lain. Misalnya, boleh jadi konsumen mendapatkan  galon baru pada pembelian perdana, tapi begitu nantinya ditukar dengan galon yang sudah diisi kembali, justru mendapatkan galon yang diproduksi bertahun-tahun lalu.

“Misalnya, saya beli galon perdana pada 2022 senilai Rp55 ribu, tapi pada saat menukar lagi malah dapat  galon bekas pakai  yang diproduksi pada 2004 --yang pada tahun itu harga perdananya mungkin hanya berkisar Rp30 ribu, Jadi saya jelas dirugikan,” katanya.

“Bisa dibilang, sistem ini merugikan konsumen,” katanya.  “Belum ada orang yang bicara soal ini, karena banyak yang belum sadar,” katanya.

Sebelumnya, Budisatrio juga mengungkapkan praktik bisnis produsen AMDK galon yang merugikan konsumen ini dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh FMCG Insights bertema, “Pelabelan BPA: Menuju Masyarakat Sehat dengan Pasar Sehat,” belum lama ini.
Dari sisi kompetisi bisnis, “Persaingan usaha yang ada juga menjadi kurang sehat karena ada barriers to entry ke dalam pasar,” kata Budisatrio. “Kalau ada barriers to entry, tentu saja sudah ada suatu rintangan, yang artinya pasar ini menjadi sudah tidak lagi perfect competition tapi imperfect competition.” 
Sebagai contoh, kalau membeli galon A, dan ternyata galon A tidak ada di toko, pembeli harus membawa pulang galon kosong itu. Galon merek A tidak bisa ditukar dengan merek galon B. Dengan kata lain, ini adalah kontrak jangka panjang yang disadari atau tidak, terbentuk dari sistem yang ada saat ini. 
“Galon yang kita pegang tadi adalah investasi di awal, karena kita beli tapi tidak bisa ditukar dengan galon lain, padahal airnya yang di dalam galon sama saja,” katanya. “Jadi, otomatis di-lock-in (pelanggan dikunci). Switching cost-nya (biaya ganti galon ke merek lain) jadi mahal. Ada lock-in dan ada switching cost. Inilah yang membuat sebuah barrier.”
Budisatrio menegaskan, produsen yang berhasil melakukan lock-in secara kuantitas, maka otomatis menjadi sangat dominan dalam pasar. Ini menunjukkan bahwa di dalam struktur pasar AMDK, ada produsen galon polikarbonat  bekas pakai yang dominan dan sisanya adalah produsen lain yang mengikutinya.
“Sadar atau tidak sadar, setiap orang yang membeli galon itu awalnya sudah melakukan investasi, dan yang melakukan investasi adalah konsumennya,” katanya. “Konsumen sudah lock-in, mereka sudah menaruh uang untuk galon tersebut.”  
Budisatrio menolak klaim produsen AMDK galon bahwa mereka terancam rugi besar kalau galon bekas pakai milik mereka dipasangi label peringatan “Berpotensi Mengandung Bisphenol A (BPA)”. “Galon kan cukup dilabeli, bukan dihancurkan,” katanya. “Perusahaan masih boleh menjual (galon bekas pakai). Ini sama persis dengan rokok yang boleh dijual, tapi ada labelnya.”  
Tepatnya, kalaupun ada yang disebut kerugian, itu bukan kerugian perusahaan tapi justru biaya dari dompet kosumen yang sudah deposit sekitar Rp55.000 di awal pembelian galon bekas pakai.
Menurutnya, sikap pengusaha ini adalah sikap manja, tidak mau ada perubahan karena sudah bertahun-tahun menikmati keuntungan dari investasi konsumen, berupa deposit pertama pembelian galon AMDK. 

Sementara itu, Yayasan  Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga mengingatkan produsen galon AMDK agar bersikap terbuka kepada publik di Indonesia.

“Konsumen harus mendapat informasi apakah galon yang digunakan isinya, termasuk segel, benar-benar baru dan asli,” kata anggota Pengurus Harian Yayasan YLKI Tubagus Haryo (15/11).  “Produsen dan distributor seharusnya memberikan informasi sejelas mungkin seputar galon AMDK, agar konsumen mendapatkan haknya dengan benar.”

“Jika memang harga pertama pembelian galon AMDK itu semacam deposit, produsen harus mau mengembalikan uang deposit itu jika konsumen mau menjual kembali galon yang sudah dibeli,” kata Tubagus.

Tubagus mendesak agar produsen galon AMDK melakukan inspeksi secara berkala pada galon-galon yang ada di distributor, agen atau di pasaran untuk menghindari adanya penyimpangan. ”Inspeksi ini  bisa ditindaklanjuti dengan melakukan pembaruan galon-galon bekas pakai, jika memang sudah tidak layak pakai,” katanya.