LKDI Hadir untuk Memblokade Ancaman Kejahatan Dunia Digital

ANP • Saturday, 23 Mar 2024 - 17:30 WIB

JAKARTA - Dunia digital masa kini ibarat buah simalakama bagi masyarakat modern. Di satu sisi, fasilitas ini memberikan berbagai macam kemudahan. Namun di sisi lain, sekaligus membuka peluang terjadinya tindak kejahatan. Sebuah situasi yang perlu disikapi secara hati-hati.

Teknologi informasi yang melaju kian pesat mempersembahkan berlimpah kemudahan bagi manusia. Iming-iming kemudahan itu pun membuat masyarakat berbondong-bondong “bermigrasi” dari dunia nyata ke ruang digital dan “menyerahkan diri” kepada ruang itu. 

Manusia yang kian “telanjang” di dunia maya menjadi sasaran empuk tindak kejahatan, mulai dari penipuan, perundungan, hingga perampokan.

Fenomena masyarakat digital Indonesia cukup fantastis. Berdasarkan laporan Meta dan Bain & Company, pada tahun 2022, jumlah konsumen digital di Indonesia ditaksir mencapai 168 juta orang. Jumlah ini naik 9,09 persen dibanding tahun 2021, yang ‘hanya’ 154 juta orang.

Jika pertumbuhan tersebut konsisten—katakanlah sekitar 10 persen per tahun—maka diperkirakan ‘penghuni’ ruang digital di Indonesia mencapai 184 juta orang pada 2023. Jumlah tersebut setara dengan 67 persen dari jumlah populasi Indonesia, yang pada Januari 2023 lalu tercatat mencapai 276,4 juta jiwa.

Sementara itu, berdasarkan laporan We Are Social dan Melwater bertajuk Digital 2023, jumlah pengguna internet di Indonesia per Januari 2023 tercatat mencapai 212,9 juta—atau 77 persen dari total 276,4 juta jiwa populasi. Jumlah yang jelas tidak sedikit.

Massifnya ketertarikan orang pada dunia maya ini tak lepas dari ‘fasilitas’ yang disediakan oleh ruang digital. Fasilitas itu berupa kemudahan untuk memenuhi berbagai kebutuhan mendasar manusia—seperti berinteraksi, beraktualisasi, hingga bertransaksi—di mana semua hal itu kerap kali menemui hambatan di dunia nyata.

Dan demi fasilitas kemudahan itu, ratusan juta orang Indonesia—baik secara sadar maupun tidak—telah “menelanjangi” diri mereka di ruang maya. Inilah ironi kemajuan teknologi.

Segala jenis data yang mengonfirmasi identitas seseorang—mulai dari kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK); ijazah, bahkan sidik jari dan identifikasi wajah—’diserahkan’ sepenuhnya pada dunia maya. Identitas-identitas beterbangan secara ‘telanjang’ di alam digital tanpa pengawal. Dan itu adalah situasi yang ‘sangat menguntungkan’ bagi ‘rampok’ dunia maya.

‘Ketelanjangan’—atau ‘penyerahan diri’—masyarakat di dunia maya pada akhirnya dieksploitasi para pelaku kejahatan digital. Walhasil, banyak masyarakat menjadi korban berbagai jenis kejahatan daring: phising, spoofing, cracking, penipuan one time password (OTP), pemalsuan identitas, ransomware, peretasan surat elektronik (email) dan situs, injeksi SQL, carding, penyebaran konten ilegal, cyber bullying, duplikasi situs, kejahatan skimming, investasi bodong, pinjaman online (pinjol), sampai judi online.

Teror Pinjol, Ketika Nasabah Kena Bobol Ratusan Triliun Rupiah Kerugian yang dialami masyarakat akibat perilaku menyimpang di dunia digital ini tidak bisa dianggap sepele. Kejahatan investasi bodong dan pinjol—baik legal maupun ilegal—misalnya. Sejak tahun 2017 – 2022, kedua aktivitas daring tersebut ‘berhasil’ menyebabkan masyarakat rugi hingga Rp139 triliun!

Jumlah itu terdeteksi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Rinciannya sebagai berikut: tahun 2017 menyebabkan kerugian Rp4,4 triliun; tahun 2018 rugi Rp1,4 triliun; tahun 2019 Rp4 triliun; tahun 2020 Rp5,9 triliun; tahun 2021 Rp2,54 triliun; dan tahun 2022 menimbulkan kerugian publik sebesar Rp120,79 triliun. Sebagai catatan khusus: lompatan dari Rp2,54 triliun pada 2021 menjadi Rp120,79 triliun setahun berikutnya, 2022, tentu merupakan lompatan yang sangat fantastis!

Mengutip temuan NoLimit Indonesia, sebagian besar korban pinjol—baik legal maupun ilegal—adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. NoLimit mendapati temuan itu setelah memantau perbincangan di media sosial dengan menelusuri beberapa kata kunci, seperti “pinjol”; “pinjaman online”; “pinjaman ilegal”; dan “pinjol ilegal”. Pemantauan dilakukan selama periode 11– 15 November 2021. Hasilnya, didapati 135.681 data perbincangan berisi kata kunci tersebut, yang pada akhirnya menjurus ke transaksi.

Menurut hasil analisis terhadap perbincangan tersebut, NoLimit menemukan bahwa sebanyak 42 persen masyarakat yang terjerat pinjol berprofesi sebagai guru; 21 persen adalah korban PHK; 18 persen ibu rumah tangga: 9 persen karyawan; 4 persen pedagang; 3 persen pelajar; 2 persen tukang pangkas rambut; dan 1 persen ojek daring.

Umumnya mereka terjerat pinjol gegara terdesak kebutuhan, di mana mereka sangat memerlukan pinjaman dana cepat untuk memenuhi kebutuhan mendesak tersebut, tetapi tidak punya barang untuk dijadikan agunan. Beberapa keperluan yang harus segera mereka penuhi itu, misalnya, tuntutan membayar utang, keperluan biaya pendidikan anak, biaya pengobatan keluarga yang sakit, dan berbagai kebutuhan mendesak lainnya. Akhirnya jatuhlah mereka dalam ‘pelukan’ pinjol.

Uniknya, ada juga yang terjerat pinjol bukan karena terdesak kebutuhan mendasar, namun karena bandanya habis dikeruk oleh judi online. Alasan terakhir ini sangat unik, dan tentunya membuat korbannya terjerat dua masalah digital sekaligus: pinjol dan judi online.

Judi Online: Ketika Uang Rp155 Triliun Mengalir ke Kantong Bandar
Soal judi online juga tidak bisa dipandang main-main. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, selama tahun 2017 – 2022, tercatat ada 121 juta transaksi judi online di Indonesia, dengan nilai transaksi mencapai Rp155 triliun!

PPATK menyebut, banyak pihak terlibat dalam transaksi judi online—mulai dari polisi, ibu rumah tangga, hingga pelajar. Total masyarakat yang terlibat, menurut temuan PPATK, mencapai 5,61 persen dari jumlah populasi di Indonesia.

Uang yang beredar melalui transaksi ilegal ini sangat melimpah—diperkirakan mencapai Rp27 triliun per tahun per situs. Soal jumlah totalnya, tinggal dikalikan ada berapa situs yang beroperasi di Indonesia. Bayangkan, jika dalam sehari satu orang setor Rp30 ribu untuk judi slot online, sebulan bisa Rp900 ribu per orang. Lalu kalikan ada berapa orang yang pasang. Betapa melimpah dana masyarakat yang mengalir ke bandar judi daring.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat bahwa rata-rata korban judi online adalah masyarakat miskin—sebagaimana korban pinjol—dan anak-anak.

Judi slot adalah jenis yang paling populer. Di luar itu adalah High Domino Island (HDI), togel, dan lain-lain. “Ada hampir 4 juta halaman web judi di situs-situs pemerintahan,” kata Ismail Fahmi, aktivis media sosial yang kondang dengan program Drone Emprit, melalui akun X—sebelumnya bernama Twitter—miliknya, pada Selasa, 22 Agustus 2023.

Kemenkominfo sendiri telah melakukan berbagai tindakan untuk memberantas—setidaknya meminimalisir—praktik judi daring ini. Misalnya, memblokir rekening dan situs yang mengedarkan konten judi online.

Menurut data Kemenkominfo, sejak Juli 2018 hingga 7 Agustus 2023, sudah ada 886.719 situs judi yang diblokir. Bahkan, sebagaimana data Kemenkominfo, dalam sepekan, rata-rata 11.333 platform dengan muatan konten judi onlineberhasil disapu bersih.
“Kita darurat judi online. Semua pihak dan elemen masyarakat harus bahu membahu memberantas judi online ini. Banyak anak-anak kita yang menjadi korban. Generasi muda Indonesia harus kita selamatkan dari praktik haram ini,” kata Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi pada Jumat, 25 Agustus 2023.

Mirisnya fenomena yang digambarkan di atas baru seputar kerugian masyarakat akibat investasi bodong, pinjol, dan judi online. Belum kerugian yang ditimbulkan oleh aktivitas digital ilegal lainnya—atau setidaknya yang keamanannya sangat tidak terjamin—seperti Kripto, future trading, dan blasting aplikasi tertentu.
Dari tiga contoh kecil tadi saja, sangat jelas dapat dibaca bahwa uang ratusan triliun mengalir dengan begitu mudahnya dari masyarakat konsumen dunia digital kepada sekelompok orang yang memiliki dan menguasai teknologi. Mengalir kepada ‘perampok dunia maya’.

Soal legal atau illegal aktivitas transaksi daring tersebut, itu hanyalah soal administratif. Intinya, legal atau ilegal, dalam praktiknya tetap menimbulkan dampak yang sama: penghisapan yang dilakukan oleh sekelompok orang kaya terhadap masyarakat kelas rentan miskin, kelas miskin, bahkan kelas miskin ekstrim.

Kenapa bisa sampai terjadi seperti itu?
Segala permasalahan itu, pada umumnya, bermula dari kebocoran data di dunia maya. Para penjahat digital memanfaatkan data itu untuk mempromosikan produk mereka—dalam bentuk investasi, pinjol, atau judi online, misalnya—dengan berbagai cara. Mulai dari cara persuasif hingga intimidatif. Apa pun cara yang mereka tempuh, tujuan mereka sudah pasti: masyarakat yang datanya sudah mereka ’sandera’ tidak punya cara untuk menolak tawaran mereka. Dan ketika masyarakat sudah mengiyakan, di situlah mereka dieksploitasi, bahkan ‘dirampok’ habis-habisan.

Ini jelas fenomena yang sangat berbahaya. Perampok-perampok dunia maya kian liar bergentayangan. Dampak perbuatan mereka kian nyata. Masyarakat perlu waspada.