Sejalan Pesan Presiden, Hakteknas Angkat Isu Riset untuk Kedaulatan Pangan dan Energi

FAZ • Wednesday, 10 Aug 2022 - 19:30 WIB

Jakarta - Peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) ke-27 dipusatkan di Kawasan Sains dan Teknologi Nasional (KST) Soekarno, Cibinong, Rabu (10/08). Tema yang diusung pada peringatan Hakteknas kali ini adalah Riset dan Inovasi untuk Kedaulatan Pangan dan Energi.

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan alasan pemilihan tema Hakteknas tersebut. Menurutnya tema ini Tema ini sejalan dengan pesan Presiden RI yakni, riset harus mampu menjawab persoalan kedaulatan pangan dan energi.

“Pemilihan pangan dan energi sebagai tema pada peringatan Hakteknas ini memang sesuai dengan permintaan Bapak Presiden kepada BRIN untuk fokus kepada riset pangan dan energi,” kata Handoko usai mengikuti peringatan Haktenas.

Tapi yang dimaksud dengan pangan pada tema ini, kata Handoko, tidak hanya berarti riset tentang pangan saja, melainkan di dalamnya terdapat riset tentang kesehatan. Sedangkan untuk riset energi, di dalamnya terdapat riset berkaitan dengan lingkungan dan kebencanaan.

“Jadi pangan dan energi itu menjadi kebutuhan yang mendesak bagi kita untuk saat ini. Apalagi kondisi pandemi dan konflik antara Rusia dan Ukraina yang berdampak besar pada kondisi pangan dan energi tidak hanya bagi Indonesia, namun pada banyak negara di dunia,” ucapnya.

Terkait pasokan pangan, faktanya Ukraina menjadi salah satu pemasok gandum di Indonesia, dan saat ini sedang menurunkan pasokannya kepada negara lain, hal ini menyebabkan dampak yang kurang baik dalam kondisi pangan di Indonesia. Menurut Handoko, di bidang pertanian, BRIN telah melakukan berbagai penelitian untuk menghasilkan varietas gandum yang unggul, namun hingga saat ini belum mendapatkan hasil yang memuaskan.

Dikatakan Handoko, ada alternatif pangan lainnya yang dapat dijadikan pengganti gandum yakni sorgum. Kendati dari sisi rasa tidak sama persis dengan gandum, namun bila sorgum dijadikan campuran gandum untuk dijadikan makanan seperti roti, rasanya tidak terlalu berpengaruh dibandingkan dengan hanya menggunakan gandum.

Terkait ketergantungan bahan pangan impor, Handoko mengungkapkan, kendati Indonesia dianggap sebagai negara agraris dimana lahan pertanian yang masih luas namun hingga saat ini bahan bahan pangan yang diimpor dari negara lain seperti beras, kedelai, gandum dan lainnya. “Untuk mengatasi hal ini, diperlukan corporate farming yang dapat menjamin kelangsungan produksi pangan,” tambahnya.

Guna memastikan terjadinya ketahanan pangan nasional, tambah Handoko, tidak bisa hanya mengandalkan pada petani atau peternak individu. Hal ini dikarenakan kebanyakan peternak atau petani individu ketika panen hanya berfikir untuk dimakan sendiri dan keluarga saja, tidak berfikir untuk mencari keuntungan yang besar.

Namun, Ketika peternakan atau pertanian sudah berbasis corporate farming maka kestabilan harga dapat dijaga dan pada akhirnya dapat mengurangi ketergantungan pada impor bahkan bisa ekspor. Ia mencontohkan untuk padi, jagung, dan kedelai, agar bisa memenuhi kebutuhan nasional hendaknya diciptakan pertanian yang berbasis corporate farming, dengan harapan harga dan kualitas produknya dapat dijaga.

Selain itu, persoalan distribusi bahan makanan di Indonesia juga menjadi perhatian khusus. Hal ini dikarenakan Indonesia sebagai negara kepulauan, jarak antar pulau cukup jauh dan terkadang sukar untuk dilalui kendaraan darat, sehingga bahan makanan sering mengalami kerusakan di perjalanan.

Solusinya, kata Handoko, diperlukan teknologi pengolahan produk pertanian pasca panen yang tepat. Misalnya dengan teknologi pengawetan atau membuat gudang penyimpanan yang dapat mengontrol atmosfer, sehingga waktu simpan produk pertanian menjadi lebih lama.

Di bidang energi, kata Handoko, ini menjadi tantangan yang cukup sulit, mengingat hingga saat ini sebagian besar sumber energi nasional masih didominasi oleh fosil. Sedangkan bila mau beralih kepada energi nabati, supporting teknologinya masih banyak yang harus dibenahi.

“Bila kita menggunakan energi dari nabati, kita masih ada keterbatasan teknologi karena tidak semua mobil bisa beroperasi dengan energi dari nabati ini,” tambahnya.

Saat ini, tutur Handoko, BRIN telah mengembangkan riset B40 yakni campuran minyak sawit dengan bahan bakar diesel dengan komposisi 40% minyak sawit dan sisanya diesel, namun masih memerlukan berbagai pengujian. 

Ada satu opsi selain biofuel yang Handoko anggap akan mampu berkontribusi dalam menjaga kedaulatan energi, yakni nuklir. “Sebenarnya untuk menggunakan nuklir sebagai sumber energi tidak butuh waktu yang terlalu panjang, mengingat teknologinya sudah siap, hanya tinggal menunggu keputusan saja,” sambungnya.

“Dalam waktu dekat yang bisa kita lakukan adalah meningkatkan biofuel dan bagaimana upaya kita mengurangi konsumsi listrik,” pungkasnya.