Dampak Ekonomi Perang Rusia -Ukraina, Hanya Bisa Dipecahkan Secara Militer

AKM • Thursday, 23 Jun 2022 - 11:30 WIB

Jakarta- Perang Rusia -Ukraina yang saat ini belum menunjukan ke arah perdamaain menimbulkan kehawatiran dampak ekonomi global semakin meningkat. Sehingga berbagai solusi menjadi wacana yang diajukan agar dapat tercipta perdamaian Rusia-Ukraina.

Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menegaskan, solusi penyelesaian krisis ekonomi global saat ini, hanya bisa dipecahkan secara militer,  tidak bisa dipecahkan secara ekonomi. Itu artinya, kemungkinan terjadinya Perang Dunia (PD) III dalam waktu dekat semakin terbuka lebar.

"Tetapi mudah-mudahan ini tidak terjadi. Kalau terjadi, saya tidak bisa membayangkan, bagaimana dampaknya. Kita sudah lihat dampak ekonominya, terutama korban jiwa manusia akibat Perang Dunia I dan II, dampaknya sangat mengerikan sekali," ujarnya ujarnya dalam diskusi Gelora Talks bertajuk " Dunia dalam Ancamann Krisis Ekonomi Global, Bagaimaa Negara Dapat Bertahan?, Jakarta, Rabu (22/6).

Mengutip Henry Kissinger mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS),  kata Anis Matta, sebaiknya Ukraina segera berdamai dengan Rusia. Ukraina juga harus bersedia membiarkan beberapa wilayahnya menjadi milik Rusia. Sebab, kalau perdamaian ini tidak dilakukan dua bulan kedepan, maka perang ini tidak akan terkontrol.

Menurut Anis Matta, situasi global sekarang dalam situasi yang sangat berbahaya, karena AS dan sekutunya menggunakan betul isu perang Rusia-Ukraina sebagai penyebab krisis ekonomi dan tingginya inflasi global. Padahal krisis ekonomi ini, sebenarnya sudah mulai terjadi sejak 2008 lalu, hanya saja ledakannya baru terjadi sekarang.

"Jadi perang Rusia-Ukraina hanya menjadi trigger saja, karena  persoalan geopolitik ini, akhirnya menjadi instrumen perang. Isu perang Rusia-Ukraina digunakan betul, ditafsirkan sebagai penyebab krisis ekonomi global, terutma inflasinya," ungkap Anis Matta.

Anis Matta menilai peringatan keras yang disampaikan Henry Kesinger itu, menujukkan bahwa dunia sekarang sedang memasuki situasi yang sudah tidak terkontrol, sehingga bukan lagi persoalan perdamaian antara Rusia dan Ukraina saja.

"Pandemi ini meledakkan itu semua. Secara defacto, lembaga-lembaga internasional seperti Dewan Keamanan PBB, Bank Dunia dan IMF menjadi lumpuh. Sama sekali tidak berguna, karena akan banyak negara yang koleps," katanya.

Dalam konteks ini, Anis Matta meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) membaca betul situasi tersebut,  dengan tidak hanya mengutip data dari Bank Dunia dan IMF saja yang mengatakan, sekitar 60 negara akan ambruk perekonomiannya karena ancaman krisis dan situasi global yang tak menentu dan 40 di antaranya bisa mengalami keambrukan atau ketidak pastian.

"Karena ini krisis berlarut, saya selalu mengulang-ulangi kalimat ini. Kita sebenarnya ingin mengetahui daya tahan Indonesia di tengah krisis berlarut ini. Apalah Indonesia akan masuk daftar negara yang koleps atau tidak? Atau apakah korbannya cuma Menteri Perdagangan (Muhammad Luthfi, red) saja atau ada yang lain," tegas Anis Matta.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Muhammad Misbakhun meminta agar pemerintah dan semua pihak tidak mempercayai prediksi Bank Dunia dan IMF tersebut. 

Misbakhun menilai Indonesia tidak akan terlalu terdampak dengan ancaman inflasi tersebut, sehingga potensi terjadinya krisis sosial (social unrest) juga minim.

Bank Dunia dan IMF, lanjutnya, sudah terlalu sering menyebut dunia berada dalam ketidakpastian dan berpindah dari satu krisis ke krisis lainnya, terlebih dalam beberapa tahun terakhir dimana pandemi Covid-19 melanda, serta perang antara Rusia dan Ukraina. 

"IMF dan Bank Dunia menyatakan kita dalam dalam situasi krisis. Pernyataan itu bukan yang pertama karena dari dulu selalu begitu," ujar Misbakhun.

Menurutnya, pemerintah tidak bisa begitu saja percaya dengan lembaga keuangan internasional itu, karena bukan tidak mungkin ada skenario yang diciptakan untuk menutupi ketidakmampun dua organisasi tersebut dalam menangani tantangan ekonomi.

 "Mereka tidak siap menghadapi perubahan geopolitik dan geostrategis global. Ketidaksiapan mereka ini ditutupi dengan pembenaran bahwa mereka tak bisa lagi menjaga hegemoni mereka," imbuhnya. 

Misbakhun justru mencurigai lembaga tersebut, tengah menjalankan agenda tertentu atau bisa dibilang inflasi yang tinggi sudah direncanakan. 

Dia pun optimistis inflasi yang tinggi bisa diatasi dengan kekuatan daya tahan penduduk Indonesia yang bercorak nilai-nilai gotong royong.

"Sistem kegotong-royongan, tolong menolong tetangga dan sebagainya, ketika ada tetangganya yang susah makan ditolong. Inilah yang menurut saya menjadi penopang fundamental daya tahan ekonomi Indonesia dari krisis. Saya tidak percaya prediksi IMF dan Bank Dunia, mereka pasti punya agenda," tandasnya.