Pontjo Sutowo: Kunci Majukan Ekonomi Berbasis Pengetahuan Melalui Kekuatan Daya

ANP • Thursday, 10 Mar 2022 - 22:43 WIB

JAKARTA - Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo, menegaskan, daya beli masyarakat menjadi salah satu instrument penting dalam pengembangan teknologi dan memajukan ekonomi berbasis pengetahuan.

“Kekuatan bangsa diukur dari kemampuan iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing,” kata Pontjo yang juga Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, dalam acara FGD Daya Beli Nasional (Domestic Purchasing Power) untuk Mengembangkan Knowledge Based Economy, di Jakarta, Rabu, (9/3/2022).

FGD ini diadakan oleh Aliansi Kebangsaan, bekerjasama dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, dan Harian Kompas.

Serial FGD ini sendiri pendalaman berbagai isu strategis hasil dari “Diskusi Serial” yang dilaksanakan sejak 20 Maret 2019. Menghadirkan Prof. H. Masykuri Bakri, Wakik Ketua Forum Rektor Indonesia, Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua Umum AIPI, dan Mardani H. Maming, Ketua BPP HIPMI.

Adapun para narasumber dalam FGD yang dimoderatori Dr. Prasetijono, yaitu Amalia Adininggar Widyasanti, Ph.D, (Deputi Bidang Ekonomi, Bappenas), Prof. Didin S. Damanhuri, dan Ninasapti Triaswati, Ph.D,

Pontjo yang juga Ketua Umum FKPPI, menjelaskan dayabeli nasional (domestic purchasing power) dayabeli masyarakat dab daya beli pemerintah (government expenditure) harus dikelola dengan baik oleh negara.

Sebab, menurutnya, dayabeli nasional menjadi salah satu instrument untuk memperjuangkan kepentingan nasional suatu negara.

Amerika Serikat sendiri juga menggunakan kekuatan dayabeli nasional. Selama periode pemerintahan Presiden Donald Trump pada 2017-2021, Amerika menerapkan kebijakan “America First” dengan aturan turunannya “buy American and hire American”.

Kebijakan Trump ini, dibuat untuk melindungi kepentingan nasionalnya terutama kepentingan para pekerja dan keluarga Amerika untuk meningkatkan kesejahteraan. Kekuatan dayabeli nasional ini juga telah dilakukan oleh hampir semua negara di dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Sebenarnya, Indonesia telah mulai melakukan perlindungan terhadap dayabeli nasional ini. Salah satunya dengan menerapkan kebijakan “substitusi impor (import substitution)” 35% atau setara dengan Rp 152 triliun di tahun 2022.

Kebijakan ini untuk mengurangi ketergantungan impor, sekaligus mendorong penguatan struktur industri dalam negeri.

Dimaksudkan sebagai salah satu instrumen pengendalian impor untuk memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri tumbuh dan berkembang guna meningkatkan daya saing bertarung di persaingan 4 global.

“Niat pemerintah melalui kebijakan ini untuk meningkatkan nilai tambah domestik pada industri ini layak untuk diapresiasi,” tegasnya.

Namun, lanjutnya, kebijakan substitusi impor yang mendapat proteksi dengan berbagai pengaturan (lisensi, pengenaan tarif maupun hambatan non-tarif), akan menjadi incaran pemodal pemburu rente yang tentu akan merugikan kepentingan nasional kita.

“Karena itu, strategi pencapaian target substitusi impor tersebut perlu dirumuskan dengan sebaik-baiknya termasuk dalam pengalokasiaan sumber daya,” tukasnya.

Pontjo mengakui, dalam pengelolaan dayabeli nasional, Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan dan hambatan. Seperti kultur, hambatan birokrasi, kebijakan, regulasi, dan lainnya.

Persoalan paling besar adalah masih berlangsungnya praktik kartel atau mafia pemburu rente (rent seeking) dalam bidang perekonomian/perdagangan di berbagai sektor.

“Nah kartel dan mafia seperti ini hanya bisa dilawan dengan penguasaan teknologi sehingga ruang dan waktu geraknya dapat diperkecil,” ujarnya.

Setidaknya, itu dibuktikan dari pengalaman beberapa negara maju dalam pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan.Sementara itu, untuk pengembangan teknologi harus didorong dengan pengelolaan daya beli nasional secara bijak dan tepat.

Menurut Pontjo, daya beli nasional harus terus diperkuat dan diberi haluan atau diarahkan untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan.

Penggunaan dayabeli nasional menjadi kunci bagaimana bangsa Indonesia mengatur rumah tangganya sendiri secara mandiri dan berdaulat untuk kepentingan nasional.

Karena itu, diperlukan kebijakan dan strategi penguatan daya beli nasional yang berpihak kepada kepentingan nasional. Termasuk untuk mendorong pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan.

“Jangan sampai daya beli nasional justru membunuh produksi kita sendiri,” katanya.

Untuk membangun ekonomi berbasis pengetahuan yang mandiri dan berdaya saing, kata Pontjo, harus didukung pula dengan perubahan kultur menyangkut pola pikir dan perilaku.

Dari sisi pelaku usaha, mentalitas kebanyakan pengusaha kita yang ingin “serba instan, jalan pintas, dan cari gampangan” perlu bertransformasi menjadi “usahawan inovatif’ yang berkontribusi dalam mengembangkan inovasi teknologi nasional.

Dari sisi masyarakat juga perlu ditumbuhkan kebanggaan dan kecintaan terhadap produk-produk dalam negeri.

Jepang bisa menjadi contoh bagaimana masyarakatnya sangat loyal dan bangga dengan barang-barang buatan negara mereka sendiri, sehingga nyaris anti dengan produk-produk impor.

Dengan mental kultural seperti ini, manfaat daya beli nasional akan dinikmati terutama oleh bangsa sendiri dan bukan oleh bangsa atau negara lain. (ANP)