ICJR Luncurkan Laporan Situasi Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia 2021

MUS • Friday, 28 Jan 2022 - 14:43 WIB

Jakarta - ICJR menerbitkan laporan tahunan situasi kebijakan pidana mati di Indonesia sejak 2016. Dalam rangka mempublikasikan dan mendiskusikan temuan-temuan dalam laporan 2021, ICJR menyelenggarakan webinar peluncuran pada Kamis, 27 Januari 2022 secara daring. 

Webinar menghadirkan beberapa penanggap terdiri dari para pembuat kebijakan dan akademisi yakni Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo sebagai perwakilan pemerintah (Tim Perumus RKUHP),Taufik Basari Anggota DPR RI Komisi III dan Asmin Fransiska, Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya. 

Dalam laporan periode 2021, temuan penting yang diangkat antara lain mengenai tren penjatuhan pidana mati dalam perkara narkotika yang tujuh tahun berturut-turut sejak 2015 hingga 2021 menduduki mayoritas kasus pidana mati di Indonesia. 

Dari total 146 kasus hukuman mati, 82% atau 120 kasus di antaranya merupakan perkara narkotika, sedangkan sisanya yakni 6 perkara terorisme, 1 perkara korupsi, dan 19 perkara kejahatan terhadap nyawa (misalnya: pembunuhan berencana, kekerasan dan perkosaan anak mengakibatkan kematian, dll). 

Kasus tuntutan mati tindak pidana korupsi pada 2021 merupakan yang pertama tercatat dalam database kasus hukuman mati ICJR. 

Meskipun tidak menunjukkan tren peningkatan dari 2020, namun kasus pidana mati 2021 masih menunjukkan angka lebih tinggi yakni sebanyak 74 kasus dibanding sebelum pandemi yang tercatat pada 2019 yakni 48 kasus dalam rentang waktu yang sama (27 Maret hingga 9 Oktober).

Pada aspek perkembangan kebijakan, laporan ICJR juga menyoroti perlunya untuk meninjau kembali pengaturan komutasi pidana mati dalam RKUHP sebagai jalan tengah, termasuk soal peluang penerapannya bagi terpidana mati dalam deret tunggu eksekusi yang saat ini telah mencapai 404 orang. 

ICJR mengkritisi ketentuan RKUHP yang mengatur soal evaluasi dan peluang komutasi pidana yang mana masa percobaan selama 10 tahun bergantung pada putusan pengadilan. Dalam kondisi saat ini juga telah terdapat paling tidak 79 orang dalam deret tunggu pidana mati lebih dari 10 tahun.

Komutasi/perubahan hukuman menjadi satu-satunya jalan keluar untuk mencegah dan menghentikan praktik penyiksaan, perbuatan kejam, tidak manusiawi dan tidak bermartabat dalam fenomena deret tunggu. Fenomena ini berpotensi dialami oleh terpidana mati yang saat ini menjalani hukuman ganda yaitu hukuman penjara dan vonis mati itu sendiri. 

Sedangkan melakukan eksekusi dengan segera juga tidak bisa menjadi opsi pemerintah karena komitmen Indonesia untuk menerima rekomendasi universal periodic review (UPR) pada 2017 untuk mempertimbangkan moratorium pelaksanaan eksekusi pidana mati.

Bagian khusus untuk merespon besarnya komposisi kasus narkotika dalam tren kasus pidana mati di Indonesia juga dibahas dengan menekankan bahwa tidak ada satu pun dasar legitimasi untuk menerapkan pidana mati dalam kasus narkotika. 

Bahkan dalam berbagai rujukan instrumen HAM internasional maupun tinjauan terhadap konvensi internasional tentang kontrol narkotika dapat disimpulkan bahwa sifat kejahatan narkotika yang sekalipun dianggap serius tidak dapat dijadikan justifikasi untuk menerapkan pidana mati. 

Namun sayangnya, dalam draft revisi UU Narkotika yang saat ini mulai diinisiasi pemerintah sama sekali tidak ada perbaikan rumusan tindak pidana yang memuat ancaman pidana mati untuk dihapuskan.

ICJR memberikan rekomendasi khususnya kepada beberapa pemangku kepentingan: 

Pertama, kepada Pemerintah untuk melakukan moratorium penuntutan dan evaluasi hukuman mati, tidak melakukan eksekusi terpidana mati mengingat adanya peluang mekanisme komutasi/pengubahan hukuman mati dalam RKUHP, menghadirkan skema komutasi hukuman mati sebagaimana skema remisi bagi penjara seumur hidup, dan memastikan komutasi terhadap sekitar 79 orang terpidana mati yang sudah dalam deret tunggu lebih dari 10 tahun. 

Kedua, kepada pembuat kebijakan (Pemerintah dan DPR) untuk membahas RKUHP secara inklusif demi memastikan pengaturan komutasi pidana mati otomatis diberikan sebagai jalan tengah dan untuk memastikan materi revisi UU Narkotika juga termasuk soal penghapusan ketentuan pidana mati; 

Ketiga, kepada Mahkamah Agung untuk melakukan moratorium penjatuhan pidana mati dan mengedepankan pidana jenis lainnya dalam memutuskan perkara yang ditangani; dan 

Keempat, kepada Lembaga Negara yang Tergabung dalam Mekanisme Pencegahan Nasional Anti Penyiksaan (Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, KPAI, LPSK) untuk secara aktif melakukan pemantauan pada tempat-tempat penahanan terpidana matidalam konteks pencegahan penyiksaan dalam deret tunggu. (Jak)