Pontjo: Perubahan Midset Dan Visi Iptek Indonesia Untuk Mengejar Ketertinggalan Teknologi

ANP • Friday, 6 Aug 2021 - 21:49 WIB

JAKARTA - Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo menyatakan, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), telah menyebabkan terjadinya transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya (Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan sains dan teknologi (Knowledge Based Economy).

"Kekuatan bangsa diukur dari kemampuan Iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing," tegas Ketua Aliansi Kebangsaan/Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti/Ketua Umum FKPPI, Pontjo Sutowo dalamn sambutan FGD Finalisasi Buku Membangun Kebangsaan Yang Berperadaban Berdasarkan Paradigma Pancasila di Jakarta, Jumat (6/8 2021).

Hadir Ketua Forum Rektor Indonesia Prof. Panut Mulyono, Ketua Umum AIPI Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua BPP HIPMI Mardani H. Maming, Deputi Bidang Ekonomi, Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti, Prof. Didin S. Damanhuri, Dr. Ilham Akbar Habibie, Prof. Ahmad Erani Yustika, dan Eka Sastra.

Menurutnya, untuk enghadapi perubahan paradigma ini, negara-negara Barat dan beberapa negara Asia seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, konsisten mengerahkan sejumlah besar sumber-dayanya untuk menguasai Iptek yang pada ujungnya akan mengangkat kualitas hidup dan kesejahteraan bangsanya. Negara yang tidak mempunyai basis Iptek yang kuat, akan bergantung bahkan berpotensi ditelan oleh kemajuan negara-negara lain.

"Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif kekayaan sumber daya alam ternyata belum mampu menjadikannya sebagai keunggulan kompetitif dan mewujudkan kesejahteraan yang kita cita-citakan. Harus diakui, sampai saat ini di beberapa sektor pembangunan ekonomi kita masih berbasis sumber daya alam. Tidak heran kalau Gustav Papanek pada suatu diskusi ekonomi di Jakarta pada tahun 2014 mengatakan bahwa Indonesia terlalu terlena dengan kekayaan sumber daya alamnya sehingga disebut mengalami penyakit belanda (dutch disease)," katanya.

Ia mengatakan, jika bangsa Indonesia ingin maju, sejahtera, mandiri dan berdaulat dalam bidang ekonomi, serta berdaya saing global, maka sudah seharusnyalah bangsa ini mentransformasikan diri dari perekonomian berbasis ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju ekonomi berbasis sains dan teknologi (Knowledge Based Economy). Untuk itu, mendesak bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan penguasaan teknlologinya yang memang saat ini masih ketinggalan.

"Rendahnya penguasaan teknologi Indonesia dapat kita ketahui dari beberapa indeks yang dipublikasikan oleh lembaga-lembaga internasional. Selain penguasaan masih rendah, ketergantungan Indonesia terhadap teknologi luar juga masih sangat tinggi. Kondisi inilah menjadi salah satu penyumbang bagi rendahnya tingkat kemandirian dan lemahnya posisi tawar (bargaining position) bangsa indonesia dalam percaturan global," ujar Pontjo.

Ia mengaku, rendahnya penguasaan teknologi Indonesia antara lain disebabkan karena belum terbangunnya ekosistem yang kondusif bagi pengembangan sains dan teknologi, baik pada aspek regulasi, birokrasi, alokasi sumberdaya, dan pengaturan kelembagaan. Sinergi dan kolaborasi kelembagaan “triple-helix” antara perguruan tinggi/lembaga riset, pemerintah, dan dunia usaha juga belum menunjukkan kinerja yang memadai.

"Dunia usaha yang memiliki peran strategis bahkan seharusnya menjadi motor dalam pengembangan inovasi teknologi juga masih ketinggalan baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Padahal, dunia usaha berperan sebagai pendorong, pengembang, pengguna, sekaligus memasarkan hasil riset dan inovasi teknologi. Tanpa dunia usaha inovasi teknologi tidak akan berkembang. Peran strategis inilah yang seharusnya selalu disadari oleh dunia usaha kita. Pengusaha sebagai bagian dari masyarakat harus ambil tanggungjawab atas kemajuan teknologi bangsa ini. Untuk itu, ada kebutuhan “road-map” pengembangan dunia usaha kita," tambahnya.

Selain hambatan/kendala tersebut, menurutnya, Indonesia juga masih menghadapi kendala budaya (kultural), sebagaimana diungkapkan oleh Simon Philpot dalam bukunya: Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity (2000), yaitu ketidakmampuan menciptakan imajinasi kultural (cultural imagination). Menurutnya, bangsa Indonesia kurang mampu membangun imajinasi komprehensif yang dituangkan ke dalam visi bangsa. Bangsa tanpa imajinasi akan hidup di dalam bingkai imajinasi orang lain.

"Sebuah bangsa menjadi besar karena kemampuannya membangun “imajinasi” masa depan, yang sudah barang tentu harus disertai perencanaan dan usaha sistematis untuk mencapainya. Lihat saja imajinasi Amerika Serikat tentang “kota ilmu dan teknologi” yang melahirkan Silicon Valley, imajinasi India sebagai “negeri perangkat lunak”, dan imajinasi Cina sebagai negeri perangkat keras," kilahnya.

Untuk itu, menurutnya, dalam kaitan membangun imaginasi kultural dalam mengejar ketertinggalan teknologi, hal mendasar yang harus dilakukan adalah perubahan midset dan Visi Iptek Indonesia.

"Visi Iptek sangat diperlukan untuk mendorong dan mengikat semua pihak ke dalam kesatuan langkah pembangunan iptek, membuat kebijakan dan memperjelas posisi penetrasi Iptek ke dalam pembangunan. Beberapa Negara seperti Cina, Korea, India, bahkan Malaysia yang saat ini mempunyai basis Iptek yang kuat, dimulai dengan meletakkan visi iptek yang benar sehingga kebijakan-kebijakan ipteknya menunjang," tegasnya.

Potjo menyatakan, untuk meletakkan visi iptek Indonesia ke depan serta mengurangi berbagai hambatan/kendala dalam peningkatan sains dan teknologi tentu dibutuhkan suatu kepemimpinan yang mampu mensinergikan semua stake-holders teknologi.

"Faktor kepemimpinan juga menjadi sorotan AIPI yang tertuang dalam “Buku Putih: Sains, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Menuju Indonesia 2045” yang dipublikasikan pada tahun 2017," mengakhiri. (ANP)