Perlunya Orkestrasi Kolosal dalam Program Vaksinasi di Indonesia

MUS • Wednesday, 3 Feb 2021 - 15:09 WIB

Martani Huseini,

Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Ketua Stikom-Interstudi Jakarta

Proses sosialisasi kebijakan vaksinasi nasional nampaknya bukan persoalan yang mudah. Padahal cuma dua kata yang ingin dikomunikasikan, yakni AMAN dan HALAL demi Suksesnya program PPKM& PSBB. Namun dari hasil Webinar yang diselenggarakan oleh STIKOM InterStudi, beberapa waktu lalu, sejumlah pakar dan praktisi hingga juru bicara Kemenkes dr. Siti Nadia Tarmizi mengakui bahwa sosialisasi proram nasional vaksinasi massal bukanlah perkara yang mudah.

Sesuai dengan makna hakekatnya, masalah sosialisasi memerlukan pijakan berpikir sosio - kultural dalam proses perencanaannya. Program komunikasi publik yang maha penting ini agar efektif dalam implementasinya diperlukan landasan berbagai macam keilmuan.

Namun tetap diakui bahwa efektivitas penyampaian pesan mulia yang disampaikan pada masyarakat yang majemuk, multi-etnis, multikultural yang serba multi ini masih mangalami banyak kendala. Upaya pemerintah dalam mengurai permasalahan kesehatan nasional khususnya penghindaran dari wabah pandemik Covid-19 dan berujung pada upaya pemulihan ekonomi nasional belum menyerupai Orkestrasi Kolosal yang masif dan enak didengar bunyinya.

Disadari oleh berbagai pihak bahwa misi mulia program vaksinasi masal ini walaupun sudah dijelaskan ‘proses keamanannya’ oleh Dept. of Communication Korporasi Bio Farma, Edwin Gama Pringadi. Berita terakhir Vaksin perdana Sinovac yang didatangkan dari Cina sudah dinyatakan ‘Halal’oleh MUI. Bahkan Presiden Jokowi dan sejumlah pejabat beserta para selibriti terpilih sudah diajak untuk menyiarkan vaksinasi massal ini aman dan halal. Ternyata hasilnya masih jauh dari harapannya.

‘The Death of Journalism’

Sangat menarik ulasan Jurnalis Senior Ray Wijaya dalam Webinar ini. Untuk mensosialisasikan pesan yang akurat dan tepat diperlukan komunikator yang capable dan credible. Untuk itu perlu didalami kapasitas keilmuannya, keagamaannya, teknik berkomunikasinya, popularitas serta pengaruhnya baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Pemilihan atas medianyapun yang sudah multi-platform, strategi pemilihan konten dan framing-nyapun harus tepat. Menyimak aspek kepemilikan ‘industri media’ di Indonesia cukup kompleks karena di latar belakangi oleh berbagai kepentingan sosio-politico yang beragam yang terkadang nampak bias dalam angle penyampaiannya.

Sehingga, jika ditinjau dari falsafah coverbothside dalam ilmu komunikasi terasa ‘kurang fair’. Oleh karena itu sinyalemen penting tentang,‘di Indonesia bisa terjadi jika lessons learnt dari Webinar ini tidak dijadikan referensi yang berharga.

Contoh yang masih hangat, sosialisasi vaksinasi masal yang berasal dari fabrikan Sinovac. Menurut pengamatan Direktur TV Muhammadiyah Makroen Sanjaya, vaksin yang berasal dari cina ini masih ada saja upaya stigmanisasi dan framing yang negatif baik oleh politisi, pemuka agama dan kelompok-kelompok tertentu. Walaupun Pilpres sudah usai namun polarisasi politik dan dinamika sosial lainnya masih nampak gangguannya terhadap upaya mulia dalam pemulihan kesehatan dan ekonomi bangsa.

Orkestrasi Penta-Helix era Digital dan Krisis Ekonomi

Perubahan paradigma berfikir dalam peradaban ‘New-Normal’ sangat diperlukan proses edukasi yang jelas dalam proses transformasi masyarakat yang multi-etnis, multikultural dan multi-segmen pendidikan dan pendapatan apalagi di situasi yang sedang mengalami krisis multi-dimensional. Masyarakat Indonesia perlu dipindahkan status pemahamannya dari kondisi Unconsious Incompetence, menjadi Consious Incompetence hingga menjadi Concious Competence terhadap permasalahan bangsa.

Proses ini memerlukan pemikiran lintas sektor, lintas wilayah dan lintas kultural. Fondasi interdisiplin keilmuan mutlak diperlukan. Pakar Anthropologi Undip Aminudin mengingatkan berkali-kali dalam Webinar ini mencontohkan kegiatan sosialisasi semacam vaksinasi massal bukan hanya membutuhkan keilmuan Sosiologi, Anthropologi, Ilmu Komunikasi namun orkestrasi antar bidang keilmuan sangat diperlukan, sehingga interseksi dengan  rumpun ilmu kesehatan dan teknologi termasuk ilmu-ilmu sosial terapan seperti manajemen dan administrasi sublik sangat diperlukan agar supaya outcome maupun impactnya bisa terukur.

Pemikiran tentang capaian impact kebijakan Publik yang tadinya hanya mementingkan keikut sertaan tiga aktor utama yakni Kelompok Tripple-Helix ABG (Academician, Businessman & Governement) kini sudah bergeser kearah Penta Helix (ABG plus Community & Media).

Pemanfaatan Peran ABG plus MC merupakan sebuah keniscayaan. Pelaksanaan Orkestrasi atas sebuah program Nasional anggap saja sebuah simponi lagu yang enak didengar ataupun dinikmati haruslah disiapkan penulisan Partiture yang lengkap dan jelas. Semua pelaku ABGC harus bisa membaca Notbalok sebagai panduan sebelum membunyikan alat instrumennya, harus pula memperhatikan lambaian tangan sang dirijen yang memberikan sebagai komandonya. Menjiwai atas pilihan lagu. Pada akhirnya khalayak pendengar ataupun penontonnya bukan hanya memahami tetapi juga mengapresiasi lantunan lagu yang sedang didendangkan.

Demikianlah perumpamaan mensosialisasi kebijakan memerlukan penguasaan teknik panggung atau pemahaman adat masyarakat, budaya setempat bahkan kearifan lokal yang biasa dianut. Untuk ini semua diperlukan pendalaman tentang teknik berkomunikasi interpersonal dan intercultural. Sekaligus penguasaan konten dan konteks yang Multi-Platform yang cukup kompleks juga diperlukan. Komunikasi berjenjang lintas komunitas, lintas budaya harus dipersiapkan secara seksama agar supaya konten dan konteksnya bisa diserap dengan mudah dan dapat dilaksanakan sesuai waktu yang telah ditetapkan.

Pemanfaatan Radio dan TV Komunitas

Contoh yang menarik bagaimana Kota Toronto Kanada, menurut pengamatan pakar Komunikasi dan Budaya asal Indonesia dan bermukim di Toronto, Justi Media Arrivati. Dalam penyampaiannya pada Webinar InterStudi ini, diceritakan bahwa warga Tororonto  memiliki dua bahasa nasional resmi yakni  Inggris dan Perancis.

Namun dalam berbagai macam penyampaian kegiatan program nasional pemerintah bahasa yang dipakai tetap secara resmi hanya dua bahasa. Hanya saja untuk proses pengefektifan sosialisasi seperti edukasi tentang bahaya virus corona, proses pendekatan secara kultural terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang multi etnis, pendekatan klasterisasi kelompok masyarakat dipilah-pilah agar tujuan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat bisa tercapai.

Di Indonesiapun menurut penjelasan dr. Siti Nadia sebagai Jubir Kemenkes sudah melakukan komunikasi publik melalui berbagai macam media dari TV Swasta, publik, media cetak non-cetak bahkan pendekatan pada kelompok ibu-ibu Posbindu, PKK dan lain-lain sudah dilakukan. Namun masih dirasakan kurang pendekatan kultural kedaerahan, melalui Radio dan TV komunitas yang dimiliki dan dikelola oleh kelompok komunitas tersebut. Pemanfaatan cara dan bahasa yang mudah dipahami oleh mereka dan disampaikan oleh tokoh panutan warga setempat. Seandainya di daerah sudah tersedia Jaringan Wifi maka TV Komunitas bisa dimulai dari yang murah dan ’mudah’ seperti pembuatan PODCAST, dengan memanfaatan jaringan seperti youtube ataupun yang lain. Semoga masukan dari Webinar Stikom InterStudi bisa diwujudkan dalam mengedukasi masyarakat Indonesia yang majemuk, Multi Etnis dan Multi Budaya.