Pakar Hukum: Pemberitaan Harus Tetap Jaga Prinsip Hukum dan Etika Jurnalistik

ANP • Monday, 25 Jan 2021 - 21:42 WIB

Jakarta -  “Pemberitaan  pada media mainstream sebagai tonggak kebebasan pers seharusnya tetap menjaga adanya karakter yang fair and accurate, hindari adanya stigmatis yang pre-judicial mengarah pada kesalahan seseorang sebelum adanya putusan pengadilan” , demikian diungkapkan pakar hukum  Indriyanto Seno Adji kepada media ( 25/1)

"Walaupun masih diperdebatkan, misalnya saja substansi pemberitaan “Bancakan Bansos Banteng” disebuah majalah  terkemuka edisi  minggu ini yang proses hukumnya  masih berlangsung, sebaiknya tetap menjaga prinsip-prinsip hukum dan etika, khususnya dalam menilai dampak pemberitaannya," ujar Indriyanto Seno Adji, Senin (25/1/2021). 

Indriyanto melanjutkan bahwa terlihat bahwa pemberitaan di beberapa media lainnya  mengenai obyek yang sama terlihat lebih menjaga etika jusnalistiknya  secara akuntabel dan profesional.

"Pola pemberitaan pre-judice yang pre-judicial itu justru mengarah anggapan adanya obstruction of justice, apalagi bila kebebasan pers ini disalahgunakan bagi vested maupun political interest bahkan sebagai alat penekan dari konsinyasi politik dan ekonomi," ucap Indriyanto yang merupakan Pengajar Program Pascasajana Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) ini.

Menurutnya, media sebagai kekuatan  mediator sosial harus berposisi adil dan berimbang  pemberitaannya, karenanya substansi pemberitaan selalu diharapkan adanya cover both sides.

"Dan meskipun kewajiban media telah melakukan komunikasi cover both sides, tapi jika substansi pemberitaan tetap prejudice, maka harus dianggap sebagai pelanggaran hukum dan etika pemberitaan, meski menjadi polemik sebagai suatu kewajaran," tegasnya.

Indriyanto yang merupakan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Krinadwipayana ini juga menegaskan, pemberian Hak Jawab didalam media, tidaklah diartikan bahwa tidak adanya pelanggaran hukum dan etika atas substansi pemberitaan. Juga sebaiknya, lanjutnya, pemberitaan menghindari adanya pembentukan _misleading opinion_ kepada publik yang justru dapat merugikan perlindungan hak asasi seseorang.

"Hak Tolak Pers sebagai Previlege Rights agar tidak disalahgunakan oleh pers untuk melakukan actual malice yang meragukan motif dari orang yang menjadi korban pemberitaannya. Ini merupakan bentuk _abuse_ secara hukum dan etika," ucap Indriyanto.

Dia mengungkapkan bahwa media tetap terikat untuk tidak melanggar Right to Distort (mengacaukan) pemberitaan yang substansinya membentuk misleading opinion bahwa seolah seseorang bertanggung jawab secara hukum.

"Pengabaian Right of Distort adalah bentuk pelanggaran etik dan hukum. Kebebasan tidak bisa dan tidak akan pernah dimaknai secara absolut tanpa batas, dan kebebasan absolut tanpa batas inilah bentuk dari pelanggaran etika dan hukum," pungkasnya.(ANP)