DPR Pertanyakan Komitmen Pemerintah Bangun PLTN

MUS • Thursday, 10 Dec 2020 - 13:49 WIB
Ilustrasi PLTN

Jakarta - Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, pertanyakan komitmen Pemerintah dalam pembangunan PLTN. Menurut Mulyanto, sikap Pemerintah tidak jelas sehingga program pembangunan PLTN jalan di tempat.  

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI dengan Kepala Badan Tenaga Nuklir (Batan) dan Kepala Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) Selasa (8/12) terungkap, hasil review oleh IAEA (lembaga tenaga atom Internasional) tahun 2009, yang menyebutkan bahwa pengembangan PLTN di Indonesia masih terkendala karena lemah dalam aspek: komitmen Negara, dukungan pendanaan dan finansial, serta keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder). 

Sementara kesiapan infrastruktur teknis secara umum dinilai sudah lumayan baik. Ini adalah syarat awal dan utama dalam seluruh tahap perencanaan pembangunan PLTN.

Melihat kondisi ini Mulyanto minta BATAN lebih aktif mensosialisasikan keunggulan PLTN. 

"Sebagai lembaga promotor nuklir, BATAN seperti mendorong mobil mogok, karena belum berhasil menggerakkan stakeholder yang lain untuk terlibat aktif. Hanya beberapa pemda provinsi tertentu yang tertarik.

Contohnya saja Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir (MPTN) dan organisasi pelaksana program nuklir (NEPIO) belum dibentuk. Sementara di dalam KEN (Kebijakan Energi Nasional) energi nuklir masih ditempatkan sebagai opsi terakhir," ujar Mulyanto.

Mulyanto minta BATAN perlu lebih aktif menyampaikan kepada publik keunggulan utama PLTN secara lugas dan gamblang. Sampaikan data perbandingan keunggulan PLTN dengan jenis pembangkit listrik dari sumber-sumber lainnya. Sehingga publik dan stake holder nuklir benar-benar paham keunggulan dan urgensi pembangunan PLTN tersebut. 

"Perlu kerja ekstra untuk meyakinkan stakeholder energi, agar mau terlibat dalam bidang ini terutama kementerian ESDM, DEN, dan PLN. 

Jadi kalau diringkas, pada tahap sekarang ini Pemerintah memang tidak ada political will untuk membangun PLTN, terbukti dengan tidak jelasnya “posisi Negara”; belum terbentuknya Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir (MPTN) sebagaimana diamanatkan UU No. 10/1997 tentang ketenaganukliran; serta tidak adanya Nuclear Energy Programme Implementing Organization (NEPIO)," ujar doktor bidang nuklir lulusan Tokyo Institute of Technology, Jepang. 

“Padahal kalau semua sudah siap saja masih perlu waktu paling tidak 10 tahun sejak pembangunan hingga PLTN beroperasi”, tandas Mulyanto. (Jak)