Konsekuensi Penyiaran Digital, Konten Media Baru Harus Diatur

ADM • Wednesday, 12 Aug 2020 - 11:35 WIB

JAKARTA - Digitalisasi penyiaran harus diimbangi dengan kesiapan regulasi konten media baru. Hal ini diperlukan sebagai konsekuensi terbangunnya tol virtual dari hasil pelaksanaan digitalisasi penyiaran akan membuat internet semakin mudah diakses.

Dengan adanya digital deviden sebesar 112 Mhz pada penggunaan frekuensi, memungkinkan pemerintah menggerakkan sektor telekomunikasi untuk membangun infrastruktur internet berkecepatan tinggi. Bahkan memungkinkan untuk diterapkannya teknologi 5G, maupun perkembangan teknologi di masa depan.

Akan tetapi keberadaan tol virtual juga akan berakibat pada luberan konten di media baru. Jika selama ini televisi teresterial mendapatkan pengawasan, maka pengawasan serupa harus diberlakukan pada semua platform media baru.

Karena perkembangan teknologi dan keberadaan tol virtual akan membuat penetrasi informasi dan hiburan melalui internet akan jauh lebih dominan dibandingkan televisi.

Komisioner Bidang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Hardly Stefano Pariela, menyampaikan hal tersebut dalam diskusi Forum Legislasi bertema “RUU Penyiaran: Bagaimana Masa Depan Digitalisasi Penyiaran di Indonesia?”di Media Center DPR RI, Jakarta (11/08/2020).

“Harus ada treatment yang equal antara telekomunikasi dan penyiaran ketika penyiaran sudah menjalankan analog switch off (ASO),” katanya..

Senada dengan Hardly, Staf Menteri Komunikasi dan Informatika Prof Henry Subiakto yang menjadi narasumber pada acara tersebut menegaskan bahwa pengawasan di media baru juga harus diperhatikan.

“Bagaimana pun juga masa depan anak cucu kita tergantung pada pengawasan konten di ranah internet yang sampai saat ini belum ada pengaturannya,”ujar Henry.

Secara rinci Henry menjelaskan tentang perencanaan pemerintah dalam merealisasikan penyiaran digital. Terlambatnya Indonesia melakukan digitalisasi penyiaran ternyata telah menghilangkan potensi pemasukan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

“Negara kehilangan potensi pendapatan hingga sepuluh triliun per bulan lantaran tertundanya digitalisasi ini,” ujar Henry.

Seharusnya, tambah Henry, dalam Omnibus Law tentang penyiaran hanya mengatur soal ASO saja. Mengingat Mahkamah Agung memang memerintahkan pelaksanaan digitalisasi hanya dapat dilakukan jika ada landasan hukum dalam Undang-Undang. Sedangkan kalau berharap pengaturan ASO melalui RUU Penyiaran, dibutuhkan waktu yang lebih panjang lantaran RUU tersebut dihapus dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020.

 

Sumber: iNews.id