Mencari Model Pemilu Berkualitas Di Indonesia

ANP • Thursday, 25 Jun 2020 - 20:58 WIB

JAKARTA - Pemilihan umum (pemilu) seharusnya menjadi pesta demokrasi, untuk mencari dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan bagus. Namun demikian sejak pemilu digelar untuk pertama kalinya yaitu pada 29 September 1955, dinilai tidak ada model Pemilu yang ideal dan sepenuhnya baik. Untuk itu, setelah 75 tahun Indonesia merdeka, Rektor Universitas Diponegoro (Undip), Prof Dr Yos Johan Utama SH MH, berharap dan mengajak semua pihak untuk mencari solusi dan membuat konsep yang realistik.

“Seharusnya ada sumbangsih konsep Pemilu yang lebih realistik untuk menghasilkan pemimpin yang lebih baik,” tegas rektor Undip, Yos Johan Utama, dalam FGD Tata Kelola Negara: Mewujudkan Pemilu Berkualitas yang diselenggarakan atas kerja sama Aliansi Kebangsaan dengan Forum Rektor Indonesia serta Asosiasi Ilmu Politik Indonesia secara virtual, Jumat (19/6/2020)

Yos Johan yang juga merupakan seorang pakar Hukum Tata Negara dan Ketua Forum Rektor Indonesia tersebut menjelaskan, dengan adanya konsep Pemilu yang realistik tersebut, bisa melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang sesuai dengan harapan masyarakat. 

"Sehingga perlu menjadi pertimbangan untuk konsep yang perlu dikembangkan adalah bagaimana menghasilkan pemimpin yang baik," katanya.

Ia menjelaskan, berdasarkan logika yang berkembang di masyarakat, meyakini bahwa Pemilu yang baik akan menghasilkan pemimpin yang baik. Selain itu, pemimpin yang baik akan mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat. 

"Tapi yang terjadi dalam prakteknya tidak selalu demikian," tambahnya. 

Ketua Forum Rektor Indonesia ini mengakui, meski sebagian besar tidak sesuai yang diharapkan, namun ada yang terpilih sesuai dengan keinginan rakyat.

"Meski demikian banyak juga yang tidak sesuai ekspetasi masyarakat. Kondisi seperti itu yang perlu dipikirkan bersama," ujarnya

Yos Johan menilai, model pemilihan langsung yang lahir setelah reformasi 1998, merupakan keinginan masyarakat yang terpendam selama dua periode pemerintahan, orde lama (Orla) dan orde baru (Orba).

"Kedua era tersebut sebenarnya nyaris sama esensinya, figur presiden menjadi pusat kekuasaan. Hanya namanya saja yang berbeda," kilahnya.

Menurutnya, pada saat orde lama disebut sebagai demokrasi terpimpin, sementara pada era orde baru dinamakan demokrasi Pancasila. Keinginan rakyat tersebut melahirkan pemilihan langsung di semua jenjang, yaitu jenjang pemerintahan, pemimpinnya dipilih rakyat secara langsung mulai dari presiden, gubernur, dan bupati serta walikota.

"Demikian pula untuk para wakil rakyat yang ada di DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten Kota, semuanya diplih langsung oleh masyarakat memakai metode suara terbanyak.
Ternyata, lanjut Yos Johan, selain konsep pemilu langsung membutuhkan biaya mahal, juga ada ekses lain seperti munculnya praktek politik uang yang dibahasakan masyarakat sebagai mahar, serangan fajar dan lain sebagainya," menambahkan.

Namun yang memprihatinkan adalah dampak tersebut menjadi berkelanjutan, ditandai dengan banyaknya kepala daerah hingga anggota legislatif yang ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Untuk itu, pihaknya mengajak semua pihak untuk merenungkan kembali model pemilihan langsung.

“Sistem pemilu langsung yang ideal seharusnya ada,” ungkapnya.

Dalam FGD Tata Kelola Negara: Mewujudkan Pemilu Berkualitas, tampil sebagai pembicara adalah Ketua Umum Asosiasi Ilmu Politik Indonesia-Peneliti Senior LIPI Dr Alfitra Salam APU, dan Ketua Aliansi Kebangsaan Ponco Sutowo.

Selain itu hadir Ketua Komite Kebijakan Pemilu Partai Golkar yang juga Menpora Kabinet Indonesia Maju, Dr. H. Zainudin Amali SE, MSi, Prof Valina Singka Subekti dari Fisip Universitas Indonesia, dan Prof Retno Saraswati, Dekan FH Undip.

Acara tersebut selain diikuti oleh para pengurus AIPI dari berbagai daerah, Bawaslu, Anggota KPUD, pengurus FRI dari berbagai Universitas, Akademisi, Mahasiswa, Lembaga Riset, ddan Ormas dan Lembaga Penelitian. (ANP)