Penuhi Kebutuhan Vaksin, Kemenristek/BRIN Bentuk Tim Pengembangan Vaksin Nasional

FAZ • Wednesday, 10 Jun 2020 - 11:31 WIB

Jakarta – Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang PS Brodjonegoro memperkirakan harga vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh perusahaan dari berbagai negara akan melonjak mengingat permintaan tinggi dengan suplai vaksin yang belum mencukupi. Ini menjadi tantangan bagi Indonesia yang perlu mengimunisasi paling tidak 130 juta penduduk (setengah populasi) hingga 170 juta penduduk (dua per tiga populasi).

"Saya yakin meskipun nanti ada beberapa perusahaan yang menemukan vaksin, meskipun mereka mengklaim bisa memproduksi satu miliar ampul setahun. Kalau Bio Farma itu ratusan juta kapasitas produksinya setahun. Kita tidak ada jaminan Indonesia akan langsung bisa mendapatkan atau kalaupun kita bisa membeli langsung, ada kemungkinan harganya tidak bisa harga yang normal. Dalam kondisi pandemik dimana hukum demand dan supply yang normal tidak bisa karena sisi demand luar biasa besar, sisi supply sangat terbatas. Kita bisa bayangkan kalau kita hanya membeli maka harganya itu bisa melonjak apalagi kalau terlambat dalam membeli," ungkap Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro saat live streaming bersama Rakyat Merdeka dengan topik Vaksin Made in Indonesia melalui aplikasi telekonferensi pada Selasa (9/4) sore.

Menristek/Kepala BRIN menjelaskan saat ini tim pengembangan vaksin nasional sedang dibentuk yang beranggotakan seluruh kementerian yang terkait secara langsung dalam pengembangan vaksin.

"Saat ini kita sedang membentuk tim pengembangan vaksin nasional yang anggotanya tidak hanya Kemenristek/BRIN tapi juga mengikutsertakan Kementerian BUMN; Kementerian Kesehatan karena nantinya yang imunisasi adalah Kemenkes; Kementerian Luar Negeri karena kita perlu juga diplomasi vaksin; Kementerian Perindustrian karena industri nanti yang akan menghasilkan vaksin itu; dan beberapa kementerian lainnya. Tujuannya adalah kita ingin mendapatkan vaksin dalam waktu relatif cepat agar tidak tertinggal dibanding negara lain. Kemudian kita juga mengembangkan vaksin dari Indonesia sendiri yang kita harapkan akan efektif terutama untuk virus yang beredar di Indonesia," ungkap Menteri Bambang.

Pengembangan vaksin untuk strain virus Covid-19 dalam negeri juga diperlukan karena berdasarkan whole genome sequencing atau pengurutan menyeluruh dari gen virus yang ada di Indonesia, strain virus Covid-19 yang menyebar masuk dalam tiga belas strain virus. Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman saat ini sudah mengumpulkan tujuh whole genome sequencing dari Covid-19 di Jabodetabek dan Universitas Airlangga (Unair) sudah mengumpulkan enam whole genome sequencing dari episentrum atau pusat wabah Covid-19 di Surabaya dan sekitarnya. Dari total tiga belas whole genome sequencing ini, baru dua strain yang diidentifikasi sebagai strain Covid-19 yang beredar di Eropa. Sebelas strain sisanya masih dilabeli others atau masih belum masuk kategori yang dikenali oleh GISAID, yaitu bank data influenza dan coronavirus dunia.

"Indonesia baru menyampaikan kira-kira tiga belas whole genome sequencing. Itu karakter dari virus. Dari tiga belas yang sudah disubmit, tujuh oleh Eijkman dan enam dari Unair. Itu berarti tujuh dari Jabodetabek. Enam dari Surabaya yang sekarang menjadi salah satu episentrum dari jenis virus tersebut. Kita semuanya submit kepada GISAID. GISAID ini semacam bank data influenza di dunia. Analisis mereka adalah mereka sekarang sudah punya enam kategori untuk virus Covid-19 di seluruh dunia. Kemudian yang tidak masuk enam sementara diklasifikasikan sebagai others. Dari tiga belas yang dimasukkan dari Indonesia: tujuh dari Eijkman dan enam dari Airlangga, sebelas kategorinya masih others. Artinya masih di luar enam kategori yang didefinisikan oleh GISAID. Sebelas masih others, dua kategorinya strain Eropa. Dua Eropa ini datang dari Surabaya. Ada sedikit perbedaan antara virus yang berkembang yang di Surabaya dan yang di Jabodetabek. Tentunya ini akan berpengaruh terhadap vaksin yang akan dibuat," ungkap Menteri Bambang.

Kemenristek/BRIN saat ini melakukan pengembangan vaksin secara paralel atau bersamaan. Strategi utama pengembangan vaksin dilakukan dengan mendukung dan mendanai LBM Eijkman dalam mengembangkan vaksin untuk strain Covid-19 yang hanya menyebar di Indonesia.

"Pengembangan vaksin dilakukan secara paralel dalam pengertian kita tetap mengembangkan vaksin yang dari awal dikembangkan di Indonesia dipimpin oleh Eijkman menggunakan platform yang namanya protein rekombinan. Saat ini sedang dalam tahap untuk mengidentifikasi protein yang nantinya diujicobakan terhadap virusnya dan kelebihan dari metode ini adalah kita hanya melakukan pengembangan vaksin yang berbasis virus yang beredar di Indonesia, baik di Litbangkes maupun di Eijkman. Kalau kita bisa menemukan vaksin dari pendekatan ini, hampir pasti ini akan ampuh terhadap virus yang beredar di Indonesia," ungkap Menteri Bambang.

Strategi kedua pengembangan vaksin adalah melalui bekerja sama dengan negara lain, yaitu China dan Korea Selatan namun strategi ini memiliki kelemahan Indonesia tidak bisa mendapatkan transfer teknologi terkait penemuan vaksin Covid-19.

"Selain yang dikembangkan di Indonesia kita juga menempuh jalur paralel, yaitu bekerja sama dengan pengembang luar. Kebetulan yang sudah diberitakan juga Bio Farma sudah bekerja sama dengan Sinovac dari China yang sudah akan masuk tahap uji klinis di Indonesia. Uji klinis ini penting karena kuncinya nanti vaksin yang dikembangkan di China bisa dikembangkan di Indonesia itu nanti kita akan mengeceknya di uji klinis bagi masyarakat Indonesia. Indonesia ini memang sangat unik untuk uji vaksin karena kita punya etnis yang cukup banyak dan diharapkan satu jenis vaksin bisa untuk semua. Uji klinis Indonesia menjadi sangat penting. Kalbe Farma juga bekerja sama dengan Korea akan melakukan uji klinis di Indonesia. Kelemahan dari pendekatan ini adalah transfer teknologinya hanya di produksinya saja tapi transfer teknologi di penemuan vaksin tidak bisa dilakukan," ungkap Bambang Brodjonegoro.