Sudan Akhirnya Melarang Sunat Perempuan, Warga Rayakan Kemenangan

Mus • Wednesday, 6 May 2020 - 16:58 WIB
Seorang dokter memberikan saran medis tentang sunat perempuan kepada seorang warga di Mesir, di mana praktiknya sudah dilarang. (AFP/Mohamed el-Shahed)

Khartoum, Sudan - Hakam Ibrahim berusia tujuh tahun ketika, seperti kebanyakan gadis Sudan, ia menjadi korban mutilasi alat kelamin (sunat) perempuan – sebuah tradisi kuno yang dikutuk sebagai praktik mengerikan – setelah pemerintah pascarevolusi di Sudan kini melarang praktik itu.

Sebagai seorang ibu empat anak berusia 40-an, Ibrahim masih mengingat dengan jelas pengalaman traumatis itu, yang hingga kini masih menjadi ritual lazim di beberapa wilayah Afrika, Timur Tengah dan Asia, meskipun sudah banyak kampanye hak azasi manusia untuk mengakhirinya.

Dilansir AFP, Rabu (6/5), malam sebelum peristiwa itu terjadi, Ibrahim ingat, para perempuan dari lingkungannya di ibukota Khartoum bernyanyi dan melolong sembari melakukan seremonial menggambar tato henna di tangannya.

Pada hari itu, Ibrahim dibawa ke sebuah ruangan kecil di mana seorang perempuan berjubah putih melakukan operasi untuk memotong bagian luar alat kelaminnya.

“Saya dibaringkan di tempat tidur dan merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuh saya,” katanya kepada AFP. “Rasa sakit itu berlangsung seminggu penuh.”

Praktik ini telah lama dijalankan, terutama di masyarakat pedesaan, sebagai “ritual peralihan” bagi anak perempuan dan cara untuk menjaga kesucian mereka.

Menurut PBB, hampir sembilan dari 10 anak perempuan di Sudan menjadi korban praktik yang dikenal sebagai FGM (female genital mutilation) atau pemotongan genital perempuan.

Dalam bentuk yang paling brutal, praktik ini termasuk pengangkatan labia dan klitoris, seringkali dalam kondisi yang tidak bersih dan tanpa anestesi.

Bagian yang luka kemudian dijahit. Seringkali pula menyebabkan kista dan infeksi, membuat perempuan merasakan sakit saat berhubungan seksual, dan mengalami komplikasi persalinan di kemudian hari.

Kelompok hak azasi manusia selama bertahun-tahun telah mengecam praktik biadab tersebut yang dapat menyebabkan banyak sekali komplikasi fisik, psikologis dan seksual dan, dalam kasus paling tragis, kematian.

Pelanggaran Hak

Pekan lalu, kabinet Sudan menyetujui amandemen hukum pidana yang akan menghukum barangsiapa yang melakukan operasi sunat perempuan hingga tiga tahun penjara dan denda.

Amandemen itu diharapkan segera diratifikasi oleh pemerintahan transisi Sudan.

Titik balik ini merupakan bagian dari gerakan reformasi yang telah terjadi sejak penggulingan Presiden Omar al-Bashir lebih dari setahun lalu, setelah berlangsungnya demonstrasi massal di mana perempuan mengambil peran utama.

“Ini adalah langkah yang sangat penting bagi perempuan Sudan, dan menunjukkan bahwa kita telah menempuh jalan yang panjang,” kata aktivis hak-hak perempuan Zeinab Badreddin.

Dana Anak-anak PBB (UNICEF) juga menyambut keputusan penting tersebut.

“Praktik ini bukan hanya pelanggaran terhadap hak setiap anak perempuan, tapi juga berbahaya dan memiliki konsekuensi serius terhadap kesehatan fisik dan mental anak perempuan,” kata Abdullah Fadil, perwakilan UNICEF di Khartoum.

PBB mengatakan praktik sunat perempuan tersebar luas di banyak negara di Afrika, Timur Tengah dan Asia, dan memengaruhi kehidupan jutaan anak perempuan dan perempuan dewasa.

Di Sudan, para pegiat hak azasi mengatakan tradisi itu telah menyebar selama tiga dekade terakhir ke daerah-daerah terpencil yang sebelumnya tidak menjalankannya, termasuk pegunungan Nuba di Sudan.

Pergolakan Politik

Di negara tetangga Mesir, seperti di beberapa negara lain, sunat perempuan sekarang dilarang. Sebuah undang-undang tahun 2008 mengaturnya dengan hukuman hingga tujuh tahun penjara.

Pendukung anti-sunat perempuan Sudan sebetulnya sudah hampir mencapai kebijakan ini pada 2015. Kala itu sebuah rancangan undang-undang sudah dibahas di parlemen, tapi kemudian dibatalkan oleh Presiden Bashir yang mendapat tekanan dari sejumlah ulama Islam.

Namun demikian, banyak pemimpin agama telah menentang sunat perempuan selama bertahun-tahun.

“Mengkriminalkan sunat perempuan tidak bertentangan dengan agama, dan tidak ada ayat (kitab suci) yang mengizinkan penyunatan terhadap perempuan,” kata aktivis hak azasi berusia 28 tahun, Sherine Abu Bakr.

“Ini adalah praktik yang harus diperangi, khususnya dengan perubahan yang terjadi di negara ini.”

Sudan telah mengalami pergolakan politik – terutama penggulingan militer Presiden Bashir pada April 2019 menyusul protes massal terhadap kekuasaannya yang berlangsung selama 30 tahun, serta kejatuhan partai Islamisnya yang berkuasa.

Sebuah pemerintahan transisi – termasuk lembaga negara yang mayoritas berisi kalangan sipil – sejak Agustus 2019 telah mengambil kendali pemerintahan dan menghadapi segunung tantangan sosial, ekonomi dan politik.

“Meskipun kita sangat gembira dengan keberhasilan amandemen ini, hukum saja tidak cukup,” kata Manal Abdel Halim dari Salima, sebuah gerakan inisiatif memerangi sunat perempuan di Sudan.

“Kita masih membutuhkan lebih banyak kampanye untuk menyadarkan masyarakat,” tambahnya.

Badreddin juga percaya bahwa hukuman harus diberikan termasuk kepada anggota keluarga yang memaksa saudara perempuan mereka untuk menjalani operasi sunat.

Ibrahim setuju. “Saya berharap amandemen ini membantu orang-orang menyadari bahwa mereka harus menjaga anak perempuannya dalam kondisi fisik yang baik sebagaimana mereka dilahirkan,” katanya. (lic)