Pandemi akan Menimbulkan Malapetaka Kelaparan

Mus • Wednesday, 22 Apr 2020 - 16:05 WIB
Lebih dari 30 negara berkembang dapat mengalami bencana kelaparan, kata David Beasley, Kepala Badan Pangan Dunia (WFP). (Md Manik/SOPA Images/Rex/Shutterstock)

London, Inggris – Dunia menghadapi malapetaka kelaparan akibat pandemi virus corona dan waktu yang sangat singkat untuk segera bertindak, sebelum ratusan juta orang menderita kelaparan. Hal ini telah diperingatkan oleh kepala badan bantuan pangan PBB.

Dilansir The Guardian, Rabu (22/4), lebih dari 30 negara berkembang berpotensi mengalami malapetaka kelaparan, dan di 10 negara di antaranya sudah ada lebih dari 1 juta orang berada di ambang kelaparan, kata David Beasley, Direktur Eksekutif Badan Pangan Dunia (WFP).

“Kami tidak bicara tentang rakyat akan tidur dalam kondisi kelaparan,” katanya dalam sebuah wawancara. “Tapi tentang kondisi ekstrem, status darurat – rakyat benar-benar berbaris menuju ambang kelaparan. Jika kita tidak memberikan makanan, mereka akan mati.”

Covid-19 kemungkinan akan menyapu negara-negara berkembang tetapi penyebarannya sulit diukur. Yang tampaknya sudah pasti adalah bahwa sistem kesehatan yang rapuh di sejumlah negara berkembang tidak akan mampu menangani pandemi, dan bencana ekonomi yang terjadi pascapandemi akan mengakibatkan tekanan besar pada sumber daya yang dimiliki.

“Ini benar-benar lebih dari sekadar pandemi – dan bahkan menciptakan pandemi kelaparan,” kata Beasley. “Ini adalah bencana kemanusiaan dan pangan.”

Beasley membawa pesannya kepada Dewan Keamanan PBB pada Selasa (21/4), dan memperingatkan para pemimpin dunia bahwa mereka harus bertindak cepat dalam situasi yang memburuk dengan sangat cepat. Ia mendesak mereka untuk menggulirkan dana bantuan sekitar US$ 2 milyar yang telah dijanjikan, agar dapat secepat mungkin disalurkan.

Tambahan US$ 350 juta (sekitar Rp 5,4 trilyun) juga dibutuhkan untuk membangun jaringan logistik dan menyalurkan makanan serta pasokan medis – termasuk APD – ke tempat yang membutuhkan, termasuk jalur udara ketika transportasi darat tidak memungkinkan.

Bahkan sebelum krisis Covid-19, Beasley telah mengimbau negara-negara donor untuk meningkatkan dana bantuan pangan bagi kaum paling miskin, sebab konflik dan bencana alam menimbulkan tekanan besar pada sistem pangan dunia.

“Saya sudah mengatakan bahwa 2020 akan menjadi tahun terburuk sejak perang dunia kedua, berdasarkan apa yang kami ramalkan pada akhir tahun lalu,” katanya. Di samping itu, awal tahun ini Afrika Timur dilanda wabah belalang terburuk selama beberapa dekade, mengakibatkan 70 juta orang dalam bahaya.

Tetapi pandemi Covid-19, yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, telah “membawa kita ke wilayah yang belum terpetakan”, katanya. “Sekarang, astaga, ini badai yang sempurna. Kita menghadapi malapetaka kelaparan yang sangat besar.”

Menurut laporan yang dirilis PBB dan organisasi lain pada Kamis (16/4), setidaknya 265 juta orang terpuruk ke ambang kelaparan akibat krisis Covid-19. Ini dua kali lipat dari jumlah sebelum pandemi.

Namun demikian, tidak satu pun dari kematian akibat kelaparan itu yang tidak bisa dihindari, kata Beasley. “Jika kita punya uang, dan menjaga rantai pasokan tetap terbuka, maka kita bisa menghindari kelaparan,” katanya. “Kita bisa menghentikan ini jika kita bertindak sekarang.”

Ia mengatakan bahkan situasi empat pekan dari sekarang tidak dapat diramalkan, sembari menegaskan pentingnya negara donor harus bertindak dengan sangat segera. Ia mendesak agar negara-negara tidak memberlakukan larangan ekspor atau pembatasan lain pada pasokan pangan lintas negara, sebab akan berdampak pada kelangkaan pangan.

Tetapi Beasley juga memperingatkan bahwa upaya mencegah ancaman kelaparan memakan waktu berbulan-bulan, sehingga bantuan yang diperlukan harus melebihi apa yang sudah diberikan sebelumnya. “Perhatian besar kami adalah kita bisa mulai meninggalkan masalah Covid-19 ini (di negara maju) dalam 3 atau 4 bulan, namun kemudian kita akan kehabisan uang,” katanya. “Dan jika kita kehabisan uang, rakyat akan mati.”

Tahun lalu, WFP membantu sekitar 100 juta warga yang putus asa, dengan anggaran sekitar US$ 7,5 miliar. “Saya bisa dengan mudah melihat kebutuhan (anggaran) itu kini berlipat ganda,” kata Beasley.

Pun uang saja tidak akan cukup, tambahnya. Sulit bagi pekerja bantuan untuk melewati wilayah lockdown di seluruh dunia dan membangun jalur udara di saat transportasi lumpuh. “Kami membutuhkan uang dan akses – bukan hanya salah satunya, tetapi keduanya.”

Yang juga penting adalah memastikan bahwa rantai pasokan tetap terbuka dalam situasi lockdown dan sulitnya membawa pekerja ke lapangan jika mereka sakit atau tidak bisa melakukan perjalanan dengan mudah. “Jika rantai pasokan rusak, rakyat tidak bisa mendapatkan makanan – dan jika mereka tidak bisa mendapatkan makanan dalam waktu yang cukup lama, mereka akan mati,” kata Beasley.

“Kita bersama dalam situasi ini. Kita bisa menghentikan ini menjadi bencana kelaparan yang besar. Tetapi kita harus bertindak dengan cepat dan cerdas.” (lic)