Bagaimana Ekosistem Riset yang Ideal bagi Diaspora Peneliti Indonesia?

• Monday, 9 Dec 2019 - 17:51 WIB

Target pembangunan iptek Indonesia dihadapkan pada rasio jumlah SDM iptek sangat rendah yaitu 1:934 penduduk, daftar paten Indonesia hanya berjumlah 2.272 atau 24% dari 9.362 paten global, dan peringkat publikasi internasional masih diperingkat 52 dari 230 negara.Salah satunya karena Indonesia hanya memiliki 301.885 SDM Iptek yang terdiri dari dosen, peneliti dan perekayasa, 1.280 peneliti di antaranya  telah menempuh pendidikan S3.

Pemberdayaan diaspora Indonesia, terutama diaspora peneliti untuk bekerja bagi Tanah Air masih belum maksimal. Sejak tahun 2014, LIPI  aktif mencari dan merekrut diaspora untuk bergabung dan sejak 2018 jalur diaspora telah dibuka sebagai salah satu mekanisme penerimaan CPNS di LIPI.  “Diaspora tidak perlu dituntut macam-macam dahulu. Kita buat ekosistem yang sesuai untuk mereka, agar mereka datang dengan membuat peraturan yang fleksibel, tidak ribet, dan kebebasan riset,” ujar Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko, pada acara Diskusi Publik “Diaspora Peneliti Indonesia: Kiprah dan Tantangan”, pada Senin (9/12). “Bibit unggul itu dicari, bukan ditunggu,” tambah Handoko.

Ekosistem riset ramah inovasi 
Diskusi publik ini menghadirkan empat diaspora peneliti yang kini telah berkiprah di LIPI. Intan Suci Nurhati adalah peneliti arsip perubahan iklim. Setelah menjadi diaspora selama 10 tahun di Amerika Serikat dan Singapura, Intan sejak tahun 2015 menjadi peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. 

Bagi Intan, ekosistem riset yang baik untuk diaspora adalah dengan tersedianya infrastruktur dan publikasi yang berkualitas. “Harus ada laboratorium terpadu, dimana masyarakat juga dapat melihat apa yang dipunya LIPI. Publikasi riset juga sebaiknya dilihat dari kualitas, bukan kuantitas,” ucap Intan yang beberapa waktu lalu meriah 74 Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila untuk bidang Sains dan Inovasi dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

Osi Arutanti bergabung sebagai peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI pada 2018. Sebelumnya selama lima tahun Osi  merupakan diaspora yang menetap di Jepang. Bagi Osi, ekosistem riset yang ideal untuk diaspora adalah lingkungan yang dapat memberikan dukungan dalam berbagai sisi, serta menyediakan kebebasan dan keleluasaan dalam mengembangkan diri.

“Kadang kita berbenturan dengan birokrasi, hal ini sebaiknya dapat dipermudah. Saat ini saya melihat LIPI sudah mulai berubah ke  rah tersebut,” tambah Osi yang baru saja menerima penghargaan L’Oreal-Unesco for Woman in Science National Fellowship 2019 untuk riset alternatif fotokatalis yang terjangkau, bisa direalisasi, efisien, dan dapat diaktivasi dengan tenaga surya.

Sementara Ayu Savitri Nurinsiyah menjadi peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI pada 2019. Ayu sudah menyumbang kekayaan keragaman hayati Indonesia dengan menemukan 16 spesies baru keong darat di Jawa. Ia juga menerima penghargaan L’Oreal-Unesco for Woman in Science National Fellowship 2019 untuk riset spesies keong darat Jawa yang memiliki antimikroba dari protein lendirnya. Selama sembilan tahun, Ayu menjadi diaspora di Belanda, Prancis, Inggris, dan Jerman.

Ayu memiliki harapan agar ke depannya aksesbilitas terhadap berbagai informasi terkait riset dapat lebih mudah. Hal ini ia rasakan perbedaannya ketika menjadi diaspora peneliti di Eropa dan di Indonesia. “Penelitian saya melibatkan koleksi spesimen di museum. Saya merasa terkadang akses untuk meminjam spesimen ini seharusnya dapat dipermudah,” tambah Ayu.

Sedangkan Mohammad Hamzah Fauzi merupakan peneliti Pusat Penelitian Fisika LIPI yang direkrut melalui jalur diaspora pada tahun 2019. Sejak tahun 2014, Hamzah bekerja menjadi asisten profesor di Tohoku University, Jepang. Menurut Hamzah, sinergi merupakan hal penting untuk membangun ekosistem riset yang baik. “Sinergi itu penting, peneliti dalam satu bidang yang berhubungan sebaiknya dapat dikumpulkan dan tidak lagi tercecer. Sehingga kita dapat lebih mudah dalam melakukan kolaborasi,” ungkap Hamzah yang menekuni riset fisika material ini. 

Sumber: Biro Kerja Sama, Hukum, dan Humas LIPI