Mau Sehat Kok Repot

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terus berkembang dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Namun menjelang 2 tahun, BPJS masih dinilai belum melakukan pelayanan yang maksimal. Mulai dari akses masyarakat menggunakan BPJS hingga Antrian dan standar pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat.

Dalam dialog Polemik dengan tema Mau Sehat Kok Repot, di Warung Daun jakarta Cikini Sabtu, (21/3). Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fajriadinur mengatakan pelayan standar BPJS dalam pelayanan minimum sudah diatur dalam peraturan.

"Standar manfaat, ditetapkan oleh pemerintah dan cakupan yang ada. Namun, setiap rumah sakit, punya standar sendiri dan tidak bisa dibandingkan  didasarkan fasilitas dan seberapa besar akses Bpjs disana," jelasnya.

Menurut Fajriadinur, Menkes yang mengatur sistem kesehatan nasional itu seperti pengaturan perihal penyakit agar  tidak menumpuk orang sakit ditempat tertentu.

"Ada 155 penyakit yang harus selesai ditingkat pertama klinik, puskemas, atau dokter praktek. Dan juga perlu disiapkan dari sarana sendiri," kata Fajriadinur.

Sejauh ini, mekanisme pengaduan seprti keluhan pelayanan akibat masalah antrean tidak ada. Namun Mekanisme komplain disediakan, seperti perihal masalah pungutan.

"BPJS selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik, masalah Antrian tidak bisa diatasi namun jika ada masalah lain seperti pungli bisa segera diselesaikan," jelas Fajriadinur.

Sementara itu, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, Marius Widjajarta mengatakan Mengacu kepada WHO, anggaran kesehatan harus mencapai 5 persen dalam belanja negara. " Namun Menkes selalu mengatakan anggaran kesehatan hanya 2 persen," kata Marius Widjajarta.

Marius meminta pemerintah membuat  Standar pelayanan medik rumah sakit untuk masyarakat. "Tanpa itu Semua bermasalah. Sebab tanpa layanan medik secara nasional maka setiap rumah sakit memiliki standar yang berbeda," tegas Marius.

Menurut Marius, standar pelayanan medik secara nasional bisa dibuat, berdasarkan tipe rumah sakit. "Dengan golongan seperti A-B-C semua rumah sakit harus sama dengan golongannya," katanya.

Marius menegaskan tanpa standar pelayanan medik jangan harap, BPJS dapat memberikan pelayanan optimal yang sebenarnya.

Disisi lain, DPR RI juga memiliki pendapat yang sama. Dewan Perwakilan Rakyat-DPR RI menilai pelayanan BPJS belum optimal dan harus ditingkatkan lagi. Anggota Komisi 9 DPR RI, Irma Suryani mengatakan, pihaknya menolak kenaikan anggaran untuk BPJS jika belum disertai perbaikan.

"Pelayanan BPJS belum optimal, tapi sudah minta naek anggaran. Dan sebagian anggota dpr telah menolak," ungkap Irma.

Sementara itu, Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, menilai dalam Konteks kebijakan publik, BPJS patut diapresiasi meski belum berjalan belum optimal, "Sisi hulu yang tidak kondusif dan mendukung untuk implementasi BPJS sendiri. Misal; paradigma sakit medis untuk penyembuhan tapi bagaimana orang tidak sakit tidak dibenahi lingkungan dan perilaku masyarakat," kata Tulus.

Kedua menurut Tulus, sosialisasi minim kepada masyarakat sehingga bisa berinteraksi.

"Ketiga, tidak ada standar pelayanan medik dalam konteks rumah sakit dan standar BPJS.  Ini juga bisa menyebabkan, kematian akibat anteran, dan pelayanan yang tidak optimal," tegasnya.

Sementara itu, dalam dialog yang berlangsung di Jaringan Nasional Sindo Trijaya FM juga membahas pelayanan yang tidak sesuai prosedur dalam kasus rumah sakit Siloam.‎ Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, Marius Widjajarta menyatakan, Kemenkes akan membuat keputusan dengan akan memberi sanksi terhadap rumah sakit siloam. Sanksi diberikan karna keterlambatan laporan dalam pengecekan obat.

Menurut Marius, sejauh ini dokternya secara profesional tidak salah.
"Yang salah adalah pt Kalbe farma. Banyak sekali, obat yang mirip dan ampulnya Menyalahi penggunaan merk dagang yang tidak ditulis," jelas Marius.

Marius yang sudah berprofesi sebagai dokter ini mengatakan, Kepala BPOM menjanjikan pekan ini, izin untuk ampol oleh Kalbe, cpub-nya akan dibekukan. "Tidak boleh injeksi ampul dulu sampai diperbaiki dulu persyaratan sesuai dengan aturan," katanya.

Dalam kasus rumah sakit siloam, DPR juga berperan aktif dalam melakukan pemeriksaan. Anggota Komisi IX DPR RI,mengatakan, pihaknya telah melakukan sidak ke rumah sakit siloam dan produsen obat PT Kalbe Farma dan memperoleh kesimpulan awal."Standar rumah sakit di rs sakit siloam terdapat human eror. Dokter anestesi seharusnya mengecek ksesuaian obat anestesi," ungkapnya.

Dari sisi produsen, Irma mengatakan untuk Produsen obat salah dan memiliki kesalahan fatal. "Di Kalbe farma seharusnya produksi obat, tidak boleh dilakukan didalam waktu yang sama. Karna dikhawatirkan akan tertukar, dan dicurigai pelabelan di Kalbe farma dilakukan secara manual sehingga bisa tertukar," jelasnya.

Namun demikian, Irma menegaskan Kalbe farma fatal, tapi siloam juga punya andil atas meninggalnya 2 orang karena sistem operasioanla tidak jalan. " Kedua pihak, RS Siloam dan Produsen obat Kalbe Farma harus bertanggung jawab," tegas Irma.

Disisi lain, Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan pemberian sanksi terhadap Siloam dan produsen obat Kalbe harus berat agar peristiwa yang tidak terulang.‎ Tulus menilai Kemenkes lamban dan tidak transparan. Menurutnya jika hanya berkaitan dengan sanksi ringan, terlalu kecil karna ini sudah menyangkut 2 orang meninggal." karna ini meninggalnya dua pasien, dimensi-nya pidana, harus ada yang bertanggung jawab, harus ada proses pidana disitu," tegasnya.

Tulus menjelaskan tindak pidana itu, berkaitan Apakah itu kesengajaan ada kelalaian atau tidak."Tetapi yang jelas, meninggalnya pasien, dalam UU kesehatan, rumah sakit, praktek kedokteran, perlindungan konsumen, jelas prosesnya pidana," katanya.

Bahkan, Tulus mengatakan, dalam UU perlindungan konsumen ada tindak pidana korporasi.

"Misalnya dalam hal ini Kalbe farma bersalah, itu masuk pidana korporasi. Korrporasi artinya pihak manajemen harus bertanggung jawab. RS siloam dan produsen Kalbe farma, karena ini berkaitan dengan sistemik, tanggung renteng bukan satu pihak saja" tutupnya.

 

(Akmal Irawan)