Revisi di Menit Akhir KUHAP & KUHP

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Jakarta - Pemerintah dan DPR tengah membahas revisi Undang Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan revisi Undang Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun pembahasan RUU ini mendapat keberatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Anggota Komisi III DPR, Nudirman Munir menilai perlunya pemerintah dan DPR mervisi kedua undang-undang karena undang-undang merupakan peninggalan kolonial Belanda.
 
"Ini kondisi yang menyedihkan. KPK harusnya tahu KUHP masih Belanda totok. Masih membedakan antara inlander dengan Belanda," kata Nudirman dalam Diskusi Polemik di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (1/3/2014).
 
Nudirman mengatakan KUHP disahkan di Belanda pada 1872, dan resmi digunakan Indonesia sejak 1946. Menurut Nudirman, KUHP produk kolonial digunakan untuk mengisi kekosongan hukum. "Jadi sama produk Belanda, tak ada Indonesia," ujar Nudirman.
 
Padahal, kata Nudirman, KUHP yang hingga kini dipakai Indonesia sebenarnya sudah tidak berlaku di negara asalnya. Nudirman menyatakan KUHP mendesak direvisi.
"Menurut Belanda, ini sudah lama dibuang di tong sampah, artinya kita sudah terlalu terlambat. Sudah 70 tahun lebih kita harusnya kita kebiri, tapi kita belum punya solusi," kata Nudirman.

Nudirman menjamin dalam pembahasan revisi kedua undang-undang  tidak ada satu pasal pun bertujuan untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Tidak ada sebesar biji zarah pun untuk melemahkan KPK," kata Nudirman.

Politis Golkar itu menuturkan, untuk menenangkan hati masyarakat, pasal-pasal yang dianggap memperlemah KPK dinyatakan tidak berlaku. Ia mengatakan, KPK harus tetap berada dalam penegak hukum memiliki wewenang yang luar biasa.

"Extraordinary KPK harus kita jaga," tuturnya.

Hal senada juga dikatakan Anggota Komisi III DPR RI, Ruhut Sitompul. Ruhut tidak setuju dengan adanya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP dan KUHAP. Menurutnya, KPK harus diberikan kewenangan lebih dapat menjalankan tugasnya.

"Kasih keleluasaan kepada KPK. KPK saat ini track recordnya sudah baik," kata Ruhut.

"KPK harus diperkuat. Rakyat sangat mendukung adanya KPK," ucapnya

Peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, mengungkapkan akar masalah dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah karena memasukan delik pidana korupsi. Menurut dia, tindak pidana korupsi adalah delik khusus yang diatur dalam UU lex specialis.

"Ini harus lex specialis kemudian kenapa dimasukan ke KUHP dan tindak pudana umum. Kenapa harus ada 15 pasal itu di KUHP," kata Oce.

Oce Madril mengatakan RUU KUHP tidak bakal menuai polemik apabila tim perumus dan DPR tidak ngotot memasukan pidana korupsi ke RUU tersebut. "Draft di KUHP dan KUHAP ini berisiko. Korupsi harusnya dikeluarkan dari KUHP. Jadi selesai itu masalah," ujar Madril.
 
Madril mengingatkan soal korupsi sebagai extraordinary crime. "Apakah saat ini kita sudah menganggap korupsi sebagai tindak pidana umum atau tindakan khusus," ungkap Madril.
 
Sementara itu terkait pembahasan RUU KUHAP, Pengamat Hukum dari Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, menyatakan bahwa keberadaan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana harus disambut baik. Menurut Codri, KUHAP lama memendam semangat otoriter orde baru. "KUHAP dulu disahkan zaman otoriter," kata Chudry.
 
Chudry menyatakan KUHAP sudah diubah dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 1981. Namun, kata Chudry, UU itu dinilai kurang layak. "Karena UU itu tak fair dan seimbang," ujar Chudry menambahkan.
 
Menurut  Chudry, draft RUU KUHAP yang diperdebatkan sebenarnya memasukan azas fair dan berimbang. "KUHAP sekarang mengakui hak azasi," beber Codri.
 
Namun, kata Chudry, RUU KUHAP tidak mengatur soal tindak pidana umum dan tindak pidana korupsi. "Sehingga, kewenangan penegak hukum berkurang sementara tersangka meningkat," kata Chudry.

 

(IMR)