Ujian Nasional, Ujian Bagi Negara

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Jakarta - Tidak meratanya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2013 karena pendistribusian soal yang tidak seirama, menimbulkan komentar pedas dari sejumlah kalangan. Penghapusan Ujian nasional pun menjadi wacana yang kembali digemingkan.

Untuk menjawab wacana tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar konvensi UN. "Kami ingin mencari berbagai masukan untuk mencari berbagai pelaksanaan UN yang akan datang" kata Kepala Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Balitbang Kemendikbud, Bambang Indrianto.

Dalam konvensi UN yang dilakukan pada 26-27 September 2013 lalu, dicapai 27 poin yang dirumuskan, diantaranya menurut Bambang, pertama, Pencapaian mutu sekolah dicapai dengan standar yang telah ditetapkan dan peningkatan standar secara berkala.

Kedua, diadakannya UN mempunyai dasar hukum yang tercantum dalam peraturan perudang-undangan yang berlaku.

Kemudian, Keberagaman kualitas sekolah di Indonesia memerlukan standar yang berlaku secara nasional yang pencapaiannya diukur melalui UN. Ke empat, UN mampu memberikan informasi pencapaian kompetensi sampai dengan ke tingkat sekolah dalam perbandingannya antar waktu, antar sekolah baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional sehingga dengan demikian dapat lebih tepat sasaran.

Sementara, untuk menjamin kredibilitasnya, maka UN harus diselengarakan secara institusional dan profesional oleh suatu lembaga independen, pencapaiannya dikembangkan melalui roadmap secara bertahap. Sebelum terbentuknya badan independen yang dimaksud, peran pemerintah pusat dalam hal ini meliputi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) penyelengaraan UN meliputi:

a. Penyusunan UN, pembuatan soal dengan melibatkan pendidik dan para ahli di bidangnya.

b. Mekanisme yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, jumlah paket soal adalah 20 dengan tingkat kesukaran setara.

c. penyiapan bahan ujian mengikuti tahapan dan prosedur pengembangan standar, termasuk di dalamnya kisi-kisi penulisan soal, telaah, uji coba, analisis butir dan perakitan.

Sementara, dalam diskusi polemik Sindo Trijaya FM, Sabtu (5/10/2013) Anggota DPR Komisi X, Zulfadli, menuding kekacauan Ujian Nasional (UN) di Indonesia karena kinerja Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang tak becus. BSNP dinilai tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai pelaksana mandiri seperti perintah yang tertuang dalam Pasal 58 ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2003.

"Persoalannya bagaimana BSNP melaksanakan tugas ini sehingga muncul kecurangan UN. BSNP tidak melaksanakan tugas betul-betul hanya sebagai pembuat kebijakan, sedangkan dalam pelaksanaan dilakukan pemerintah, sehingga tiap tahun terjadi masalah," kata Zulfadli.

Sementara, pihak BSNP berkilah ketidakmampuan mereka membereskan masalah UN karena dengan sumber daya manusia yang tak mencukupi. Sehingga, BSNP terpaksa pasrah menyerahkan kewenangan terhadap pemerintah.

"Memang BSNP bisa melaksanakan UN karena dilengkapi kewenangan. Tetapi kami hanya 15 orang," ujar Teuku Ramly Zakaria, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan.

Agar bisa bekerja maksimal, Ramly meminta pemerintah memberikan sarana dan prasaran serta kewenangan agar BSNP bisa melaksanakan kewenangannya dengan baik.

"Kami juga mau kewenangan bukan hanya di atas kertas maka kami ada saran ditambah SDA, anggaran dan sarana untuk dapat menyelenggarakan ke tingkat sekolah," ucapnya.

Sementara, penolakan pelaksaan UN tetap dilontarkan dari pengamat pendidikan Mohammad Abduhzen. Dalam kesempatan yang sama dia menilai, UN tidak tepat untuk kembali diterapkan setiap tahun karena kajian ilmiah mengenai dampak dan manfaat UN tidak ada. Sehingga tidak ada alasan untuk mendukung pelaksanaan UN dari tahun ke tahun.

Misalnya, lanjut Abduhzen, dulu saat ada UN, pendidikan Indonesia bisa dikatakan berkualitas. Namun, lanjutnya, pendidikan tidak bisa dengan mudah dikatakan maju atau mundur jika hanya dilihat dari satu poin. Sebab, pendidikan merupakan bidang yang kompleks sehingga tidak bisa dilihat dari satu faktor saja.

"UN juga dipakai untuk dramatisasi. Pendidikan tanpa UN seakan-akan mengambang. Jangan lupa ada standar kompetensi lulusan (SKL) yang menjadi acuan bagi guru dalam bekerja. Dengan UN, seolah-olah pemerintah mengambil jatah guru, dalam hal evaluasi," tuturnya.

Namun, Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud, Bambang Indrianto kembali menegaskan bahwa UN tetep akan dilaksanakan pada tahun depan. Dikatakan Bambang, Pemerintah akan melakukan pembenahan manajemen. Sehingga kelancaran pelaksanaan UN dapat terjamin, dan UN akan mendorong peningkatan prestasi siswa.

"kita tidak boleh berjeger dari permasalahan manajemen. Pemerintah akan mengambil sikap bahwa kita tetap pembenahan manajemen, agar kelancaran pelaksanaan UN dapat terjamin untuk mendorong peningkatan prestasi siswa" imbuhnya.

 

(Dede Rohali/MKS)