Mobil Murah Diuji, Transportasi Layak Dinanti

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Jakarta - Pengurus Harian Yayasan lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menegaskan kebijakan mobil LCGC sangat lemah karena ketika digodok tidak melibatkan adanya partisipasi publik.

"Tidak ada partisipasi, background konteks masyarakat sipil secara umum maupun pemimpin daerah, yang mau tidak mau akan berdampak kepada kebijakan ini. Jadi secara sosiologis politis wajar mereka melakukan penolakan dan pembangkangan terhadap Pusat," bebernya.

Tulus menengarai bahwa dengan adanya mobil LCGC, kebijakan pemda untuk mengurangi kemacetan akan gagal.

"Sebenarnya kebijakan Pemprov DKI misalnya ERP (Electronic Road Pricing) itu hanya 1 instrumen untuk menekan kemacetan. Namun harus diingat, jangankan ada LCGC, tidak ada pun belum tentu itu efektif. Sangat mungkin ERP pun tidak efektif, apalagi dengan adanya mobil LCGC," cetusnya.

Hal itu, menurut Tulus, disebabkan masing-masing kota punya karakteristik tersendiri. Misalnya, LCGC memang cocok untuk Sweden, London dan Singapura, tapi kondisi di Jakarta belum teruji. Karena karakter lalu lintas dan tata kota Jakarta sangat buruk.

Tulus berpendapat, di dalam konstitusi sebenarnya transportasi umum itu adalah pelayanan public services. Seharusnya kalau pemerintah konsisten atas konstitusi yang ada, maka yang diutamakan adalah pembangunan sarana transportasi publik.

"Memang mobil LCGC itu banyak di berbagai negara, tapi diaplikasikan setelah transportasi publiknya satle. Terjamin kearifan keamanan dan kenyamanannya," tandasnya.

Saat ini kondisi transportasi umum di Jakarta sangat jauh dari kata layak. Dengan digulirkannya mobil LCGC ini, menurut Tulus itu akan menjadi bom untuk mematikan transportasi umum.

"Kita tahu semua kan gimana transportasi di Jakarta dan di kota-kota besar dan sedang lainnya. Semua alat transportasi umumnya jauh dari kata manusiawi, rasa aman dan nyaman. Kok tiba-tiba kemudian pemerintah mengeluarkan LCGC, yang saya yakin itu akan menjadi bom. Karena saya yakin publik akan semakin tidak berminat menggunakan angkutan umum," tuturnya.

Tulus menilai, kebijakan ini sangat transaksional. Bahkan, dia menduga hal ini ada kaitannya dengan kepentingan politik.

"Saya menduga disini ada proses transaksional. Meskipun saya belum ada bukti, tapi ini kan tahun politik. Semua butuh sumber daya modal untuk berpolitik. Oleh karena itu ini adalah kebijakan yang sangat transaksional, ketika kebijakan ini digulirkan, industri otomotif kan pasti sangat diuntungkan, dugaan saya  industri itu punya sesuatu sebagai kompensasi kepada para pembuat kebijakan," terangnya.

Atas kuatnya penolakan terhadap mobil LCGC ini, sambungnya, KPK harusnya bisa turun tangan.

Selain itu, Tulus juga membeberkan kebohongan-kebohongan pemerintah dari kebijakan mobil LCGC ini. Kebohongan pertama adalah klaim yang menyatakan bahwa mobil ini low cost atau murah.

“Murah apanya? Mobil itu masih sangat mahal dan ini bentuk pelecehan terhadap masyarakat Indonesia yang menyatakan seolah-olah masyarakat mampu membeli mobil tersebut,” tuturnya.

Selain itu, klaim tentang green car. Menurut Tulus, klaim ramah lingkungan merupakan kepalsuan karena mobil itu masih menggunakan bahan bakar bersubsidi. Selain itu, kebijakan (LCGC) ini adalah kebijakan predator yang memakan sektor-sektor lain termasuk pajak.

“Saya mencatat, karena mobil LCGC ini, minimal pemerintah kehilangan Rp 10 triliun dalam setahun. Belum lagi soal subsidi BBM yang akan melambung setinggi langit dengan target pertumbuhan industri otomotif khususnya LCGC,” katanya.

Tulus juga mengungkapkan, kebijakan ini memihak kepentingan pemilik modal, bukan kepentingan orang banyak di Indonesia dan khususnya di kota-kota besar.

“Saya yakin mayoritas penjualan mobil murah ini akan terserap di kota besar. Karena bentuknya city car yang layak dipakai di kota besar, daerah desa tidak akan melirik dan tidak akan membuat mobil murah ini laku apalagi di pasar Internasional. Selama ini Indonesia dikenal sebagai tukang rakit dan tidak punya reputasi dalam industri otomotif, kalau kata Hatta Rajasa untuk ekspor maka hal itu tidak akan terjadi,” tukasnya

Tulus menambahkan, lebih baik pemerintah mewujudkan mimpi mobil nasional (mobnas) yang sempat digembar-gemborkan. Konsep mobil LCGC ini jelas-jelas bukan mobil nasional karena menempel merek-merek yang mendompleng industri otomotif.

“Apalagi kebijakan mobil LCGC ini masih punya komponen impor sebanyak 40 persen, ini namanya bukan mobil nasional,” pungkasnya.

Kendati demikian, Kementrian Perhubungan sepertinya setuju dan tidak mempermasalahkan dengan banyaknya kendaraan yang masyarakat miliki.

"Kalau dari Kemenhub hanya lihat gimana kendaraan digunakan di jalan. Jadi Silahkan punya mobil banyak, tapi dalam pemekaiannya akan ada aturan," ujar Direktur Bina Sarana Transportasi Perkotaan Kemenhub Djoko Santoso.

Djoko mengatakan, peraturan yang dimaksud salah satunya ada 3 in 1 dan tidak parkir di bahu jalan, Namun, terlepas dari hal tersebut, peningkatan volume kendaraan dari program ini akan memicu perubahan di jalanan.

"Nah, kalau semakin banyaknya kendaraan yang parkir di bahu jalan, dan nanti tidak dapat tempat parkir lagi. Nantinya masyarakat akan menyadari bahwa susahnya mencari tempat parkir, hal itu dengan sendirinya akan membuat masyarakat lari ke kendaraan umum," ungkapnya.

Menurutnya, secara perlahan angkutan umum juga harus ditingkatan. Meskipun titik kritis yang diakibatkan mobil LCGC ini banyak, tetapi angkutan umum untuk kebutuhan masyarakat juga harus diisi.

"Pemda harus fokus penyediaannya," cetusnya.

Djoko mengatakan, yang perlu diwaspadai adalah bagaimana mobil LCGC ini digunakan. Menurutnya, kalau memang dipasarkan di daerah-daerah yang kekurangan sarana transportasi maka akan menimbulkan
dampak berbeda.

"Pertumbuhan sarana transportasi (di daerah) juga akan meningkatkan daya beli masyarakat. Tapi secara naisonal, industri otomotif harus tumbuh untuk dukung angkutan umum itu," terangnya.

Sementara itu, analis kebijakan publik, Dinna Wisnu menilai, ada tekanan asing dalam kebijakan mobil LCGC. Sehingga pemerintah terkesan ngotot dengan program mobil murah ini.

"Masalah dari dalam negeri bisa muncul karena tekanan dari luar juga. Kalau pemerintah jujur, ini ada tekanan luar biasa. Meskipun banyak penolakan, tapi pemerintah kesannya tetap ngotot," sebutnya.
 
Sementara itu, anggota Komisi V DPR RI fraksi Golkar Hetifah menyatakan tidak setuju dengan kebijakan tersebut.

"Pemerintah harus hati-hati dalam membuat kebijakan, apakah kebijakan tersebut akan memberikan lebih banyak dampak negatif kepada publik atau tidak," ujarnya.

Hetifah bahkan mencontohkan Walikota Bogota, Penaloza yang mengatakan bahwa negara maju bukan karena menggunakan kendaraan pribadi atau banyaknya mobil, tapi bagaimana orang kayanya memanfaatkan angkutan publik.

Menurutnya, pemerintah sedang diuji apakah lebih mementingkan kepentingan segelintir orang, atau kepentingan yang berdasarkan konstitusi, dengan memenuhi kepentingan hak publik.  

"Pemerintah telah diamanatkan untuk mengutamakan kepentingan publik, bukan mementingkan segelintir orang," cetusnya.

Hetifah menilai, jika pemerintah memang benar-benar menerapkan kebijakan pro-rakyat, seharusnya bunyi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 41 tahun 2013 bukanlah tentang regulasi mobil LCGC. Namun bunyinya tentang mobil gratis ramah lingkungan untuk rakyat miskin.

“Saya tidak setuju masyarakat didorong punya mobil banyak-banyak. Harusnya kebijakan itu diberikan pada masyarakat miskin, orang kaya beralih ke angkutan umum,” tukasnya.

Menurutnya, kebijakan ini harus dikaji secara matang. Apakah lebih banyak dampak negatif ke masyarakat banyak.

(Nurul Puspitasari/MKS)