BBM Naik, Siapa Tercekik?

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Jakarta - Anggota Komisi VIII DPR, Nurhayati Ali Assegaf mengatakan bahwa pemerintah sangat berupaya supaya  dampaknya tidak terlalu dirasakan masyarakat. Namun kenaikan BBM merupakan opsi terakhir yang bisa dilakukan untuk memperbaiki fiskal.

Bahkan Nurhayati menyatakan bahwa semua ini menjadi pil pahit bagi Partai Demokrat.

"Tapi memang ini pil pahit bagi Partai Demokrat, tapi semoga bisa menyehatkan negara," ujarnya melalui sambungan telpon di acara Polemik Sindo Trijaya FM, Sabtu, (22/6).

Namun dirinya menekankan bahwa Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara besar lainnya seperti Amerika Serikat juga masih memberikan bantuan langsung berupa sosial security yang juga diberikan kepada pengangguran.

Pemberian BLSM ini, lanjut dia, bukan hanya tugas dari anggota dewan dari segi pengawasan namun juga jadi tugas seluruh masyarakat untuk ikut mengawasi  apakah BLSM tepat sasaran.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa, selama ini terutama di Komisi VIII DPR, sebenarnya sudah banyak sekali jenis bantuan yang sudah ada seperti bantuan keluarga harapan, bantuan rumah murah dan bantuan beras raskin.

Bantuan BLSM, tidak pernah diatasnamakan bantuan dari Partai Demokrat justru menurutnya bantuan bisa diklaim dari partai di kementrian sosial (Kemensos) karena segala jenis bantuan, lanjutnya, terkonsentrasi di Kemensos.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton Supit berpendapat bahwa BBM sudah seharusnya mengalami kenaikan sejak dua hingga tiga tahun lalu. Namun kenaikan tersebut selalu tertunda karenaa berhadapan dengan kepentingan politik, sehingga tarik ulur politik lebih diprioritaskan daripada menyelamatkan fiskal.

"Ini masalah leadership. Terlalu banyak permainan politik dan berpikir soal popularitas. Padahal pemimpin adalah harapan kita, yang punya wewenang kuat," tegasnya.

Lebih lanjut dikatakaannya bahwa persoalan kenaikan BBM bukan sesederhana bahwa kenaikan BBM tidak pro rakyat atau tidak menaikan BBM adalah tindakan yang pro rakyat.

Namun, kesalahan pertama salah persepsi dan sosialisasi pemerintah yang salah bahwa negara kita kaya akan minyak, padahal tidak demikian, bahkan cadangan minyak Indonesia akan habis hanya dalam delapan tahun.

Subsidi juga terbukti tidak adil, karena dari 20 persen masyarakat yang paling bawah, hanya lima persen saja yang menikmati subsidi pemerintah tersebut.

Kemudian masalah penempatan saving yang kurang tepat. Efisiensi ekonomi yang seharusnya lebih ditekankan ke peningkatan produktivitas sumber daya manusia (SDM) seperti perbaikan infrastruktur, memberikan peluang tenaga kerja, dan sebagainya yang akan lebih substain dirasakan justru tidak dilakukan.

"Kita harapkan kan tadinya ada saving di pendidikan, infratsruktur dan sebagainya  untuk ciptakan SDM yang lebih baik tapi nyatanya justru BLSM yang dibagikan," ucapnya.

Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat (Sekjen DPP) Organisasi Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda), Andriansyah mengatakan, Organda sudah sosialisasikan dampak kenaikan BBM setahun lalu. Organda juga sudah menghitung dampaknya, dan bahkan pemerintah dulu sudah menyiapkan insentif untuk angkutan umum.

"Artinya sudah diantisipasi, dibuat simulasi-simulasi, kita berharap pada kenaikan BBM naik, ada kesiapan di sektor angkutan umum. Tapi dalam kenaikan BBM ini sektor transportasi di abaikan, kami selalu minta insentif, karena untuk antisipasi kenaikan tarif yang akan terjadi, karena kenaikan tarif itu bisa dihitung. Tahun lalu sejak isu kenaikan BBM. Bergulir bahkan pemerintah sudah menganggarkan ada insentif, tapi kali ini tidak, oleh karena itu konsekuensinya tarif angkutan akan naik," terangnya.

Padahal, Andriansyah menegaskan bahwa insentif yang diinginkan bukan untuk mencari keuntungan bagi pengusaha tapi lebih pada kepentingan mementingkan pengguna transportasi dimana kenaikan tarif akan sangat berdampak bagi pengguna transportasi.

Selain itu, Andriansyah juga menyayangkan bahwa dalam postur APBN-P yang baru nyaris tidak ada perubahan pengembangan infratruktur jalan. Padahal tanpa adanya perkembangan infrastruktur, khususnya di luar Pulau Jawa, kenaikan BBM akan berdampak lebih luas.

"Standar pelayanan minimum transportasi yang baik bagi pengguna semakin tak terpenuhi. Kalau infrastruktur tidak bagus, kemacetan meningkat dan pengeluaran semakin tinggi lagi," paparnya.

Ditambahkan, pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan 6 hingga 7 persen  seharusnya otomatis diimbangi dengan antisipasi kenaikan harga BBM sejak awal. Karena pertumbuhan ekonomi butuh energi yang besar dan logistik meningkat, dan semua akan butuh BBM. Namun justru kenaikan BBM baru terjadi di masa-masa yang tidak tepat.

Senada dengan Anton Supit, Pengamat Ekonomi, Faisal Basri bahwa kenaikan BBm kali ini cenderung tidak adil dimana kenaikan BBM yang seharusnya untuk menyelamatkan APBN supaya defisitnya tidak mengelembung melebihi 3 persen namun justru faktanya defisit makin naik, dan penerimaan negara juga semakin turun.

"Jadi ada rasa ketidakadilan disini, itu juga terjadi di negara Brazil, karena pemerintah korup dan tidak efisien. Saya yakin masyarakat sebenarnya tidak masalah BBM dinaikin dua kali lipat asal anggota dewan tidak korupsi. Sekarang masyarakay cuma bisa yakin bahwa  merekalah yang ujung-ujungnya yang menelan pil pahit dari tindakan politisi itu," ucapnya.

Faisal juga menyayangkan tindakan SBY yang secara heroik tapi salah dengan  menurunkan harga BBM menjadi 4500. Pasalnya jika harga BBM dulu tidak diturunkan sebenarnya kenaikan tidak akan sebanyak sekarang.

Terkait BLSM, Faisal berpendapat bahwa kebijakan tersebut hanya sekedar mengurangi kepahitan saja, tidak ada dampak substansi secara permanen sehingga cenderung tidak efisien.

(Nurul Puspitasari/MKS)