Uang Dicuri, Uang Dicuci

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Jakarta - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Indra mengatakan, Undang-Undang (UU) No 8/2010 mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sangat penting diterapkan dalam proses peradilan korupsi di Indonesia, karena jika hanya menerapkan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) maka efek jera yang ditimbulkan kurang optimal.

"Ketika koruptor tidak dimiskinkan, maka dia bisa mempunyai instrumen aparat negara, bisa membeli kehormatan. Dimiskinan itu lebih jera daripada penahanan," ujarnya dalam diskusi Polemik Sindo Trijaya, di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (5/11)

Indra menambahkan, hal penting lainnya adalah bagaimana penegak hukum dapat menggunakan UU TPPU tanpa tebang pilih. Masyarakat dan seluruh stake holder harus mendorong aparat penegak hukum, baik itu Kejaksaan, Kepolisian maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk tidak ragu mengimplementasikan UU No 8/2010.

"Saya pikir menjadi catatan penting dimana UU TPPU itu penting diimplementasikan dengan baik. Jangan sampai publik merasa masih ada lubang-lubang atau penerapannyaa yang diskriminatif. Kalau terbukti korupsi sekian ratus juga maka harus dikembalikan sekian ratus juta. Kalau terbukti korupsi tapi tidak dsitia tentu publik akan mempertanyakan," tuturnya.

Lebih lanjut Indra menyampaikan bahwa, Fraksi PKS mendukung dan mendorong penerapan UU TPPU. Karena tanpa itu korupsi tetap menjamur dan efek jera tidak maksimal. UU TPPU juga merupakan solusi yang signifikan dalam pemberantasan tipikor.

Namun, penegak hukum juga perlu menjelaskan ke publik bahwa dengan UU TPPU, publik maupun badan usaha harus dituntut untuk peduli mengenai UU TPPU dan memahami dengan konsep penerima pasif dalam UU TPPU.

Sementara itu, Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Agus Santoso menambahkan, UU TPPU itu memungkinkan untuk diterapkan secara kumulatif. Dimana korupsi yang dilakukan di tahun sebelum UU TPPU dibentuk pun bisa kemudian dijatuhi UU TPPU.

PPATK pun sudah memiliki banyak mitra dalam membantu menelusuri TPPU. Beberapa mitra tersebut diantaranya kepolisian, kejaksaan, bea cukai, BNN, direktorat pajak, bahkan koperasi simpan pinjam.

"Dalam UU TPPU, pelapornya diperluas, ada dua pelapornya yakni penyedia jasa keuangan dan penyedia barang dan jasa. Sampai ke pengadaian dan koperasi simpan pinjam. UU TPPU ini juga perlu adanya pembuktian terbalik, bukan hanya dihukum denda tapi juga dirampas. Disini beban pembuktian dipindahkan ke terdakwa. Di sidang pengadilan hakim bisa melakukan pembuktian terbalik. Asalnya tidak perlu dibuktikan dulu. Tapi yang jelas terdakwa harus mampu membuktikan asal usul duitnya dari mana kalau tidak mau terkena UU TPPU," jelasnya.

Setidaknya menurut Agus, ada tiga pelaku TPPU yang tertuang dalam pasal 5 UU TPPU yakni pelaku aktif, pelaku pasif dan fasilitator. Pelaku pasif yakni pengguna barang hasil korupsi, bisa saja dihukum. Hal itu dikarenakan kejahatan kerah putih sudah bisa dipastikan bahwa pelaku tidak pernah menggunakan rekening pribadinya.

Agus memaparkan, dalam pasal 5 ukuran pelaku pasif sudah detail dijelaskan dengan kata kunci 'yang patut didiuga'. Paling tidak ada beberapa syarat untuk dikatakan pelaku pasif. Pertama, setidak-tidaknya ada pengetahuan, keinginan dan tujuan tertentu pada saat transaksi yang dilakukan.

Dengan konsep itu maka masyarakat harus lebih transparan. Indonesia sudah menerapkan UU TPPU, artinya sudah memilih bahwa sistem keuangan adalah sistem yang bersih.

Kedua, masyarakat juga harus berani melapor. Karena melaporkan tindak korupsi akan dilindungi oleh negara. Pengaduan masyarakat bisa dilakukan ke penegak hukum atau PPATK, untuk kemudian laporan itu ditindak lanjuti dengan pendalaman analisis.

Sependapat dengan Agus, Mantan Hakim, Asep Iwan Iriawan mengatakan, siapapun yang dituduh melakukan pencucian uang maka wajib dibuktikan dipersidangan. Jika tidak mampu menjelaskan pembuktian terbalik maka benda yang disita wajib untuk diserahkan.

Asep juga menegaskan bahwa dirinya saat ini terus mendorong upaya dibentuknya UU Perampasan Aset. Hal itu bertujuan supaya pemiskinan bisa optimal dan koruptor akan semakin jera.

"Kita punya UU Tipikor, UU TPPU juga. Tapi ada hal lainnya juga. Rakyat harus mendorong supaya menggolkan konsep UU Perampasan Aset. Nanti jika UU tersebut memang dibentuk, dan ada partai yang tidak setuju, maka jangan dipilih partainya karena pasti ada suatu hal dibalik penolakan itu. Tiga UU itu harus diimplementasikan supaya lengkap," ucapnya.

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun mengatakan dalam TPPU dimensinya lebih luas dari UU Tipikor. Bukan hanya sekedar  mentransfer tapi juga mengubah barang dan jasa yang bisa dikenakan UU TPPU.

"TPPU itu bukan hanya mentransfer, tapi mengubah uang itu jadi barang juga bisa, itu dimensinya tidak pidana yang dialihkan. TPPU itu berkelanjutan, kalau dilakukan di tahun 2008 pun masih bisa kena UU TPPU, jadi aspek TPPU itu luas. Masyarakat juga harus paham soal itu," terangya.

Mantan Hakim, Asep Iwan Iriawan menyimpulkan untuk saat ini bila seseorang sudah di kenai UU TPPU maka segera cepat sita seluruh aset dan lakukan penahanan sebelum hasil korupsi itu di cuci dengan upaya-upaya lain.

(Nurul Puspitasari/MKS)