RUU PEMILU & PERTARUHAN DEMOKRASI

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

JAKARTA – Pemilu 2019 diharapkan memberikan banyak alternatif pilihan kepada rakyat untuk memilih calon presiden (capres) yang diinginkan. 

 

Salah satu jalan untuk memunculkan capres alternatif adalah menghilangkan aturan presidential threshold . Jika aturan ambang batas pencapresan tersebut masih digunakan di pilpres mendatang, pengajuan capres dipastikan hanya bisa dilakukan oleh partai politik besar. Kondisi ini berpotensi memunculkan risiko yang lebih besar lagi, yakni munculnya capres tunggal. Demi menghindari risiko tersebut, seyogianya Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang dibahas Panitia Khusus DPR menghapus ketentuan presidential threshold pada Pasal 190. 

 

”Penghapusan presidential threshold itu sebetulnya untuk menghindari calon tunggal. Memang salah satu pendekatan utamanya itu, tidak perlu dibuat presidential threshold . Itu salah satu yang utama,” ujar anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay seusai menjadi pembicara diskusi Polemik SINDO Trijaya FM bertema ”RUU Pemilu dan Pertaruhan Demokrasi” di Warung Daun, Cikini, Jakarta, kemarin. Hadar menganggap penghapusan presidential threshold sebagai hal positif. Jika rakyat diberi banyak pilihan, ada kesempatan untuk memilih calon pemimpin ideal yang diharapkan. ”Jadi kita jangan khawatir, banyak calon itu justru mewakili masyarakat pemilih,” lanjut Hadar. 

 

Pilpres tanpa threshold juga tidak serta-merta melahirkan capres dengan jumlah yang sangat banyak misalnya sama dengan jumlah parpol peserta pemilu. Meski kesempatan itu ada, parpol juga punya banyak pertimbangan sebelum memutuskan untuk mengajukan nama calon. Menurut Hadar, pengajuan capres butuh perjuangan yang tidak sedikit. Diberitakan, RUU Pemilu yang diusulkan pemerintah memicu polemik, terutama Pasal 190. 

 

Di situ diatur bahwa pasangan calon (presiden dan wakil presiden) diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR, atau memperoleh 25% dari suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya. Pengaturan ini dinilai tidak tepat karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 menyebutkan Pemilu 2019 dilaksanakan serentak antara pemilihan legislatif (pileg) dengan pilpres. Muncul komplikasi jika aturan threshold tetap ada, sedangkan pemilu harus digelar serentak. 

 

Pertanyaannya, apa yang harus dijadikan syarat threshold di pilpres, sedangkan hasil pileg sendiri belum diketahui. Di sisi lain, logika yang dibangun pemerintah bahwa presidential threshold akan mengacu pada hasil perolehan suara parpol di Pemilu 2014 dinilai mengandung risiko besar. Sebab, hasil pemilu 2014 itu sudah digunakan untuk memilih presiden dan wakil presiden pada tahun yang sama. Jika itu digunakan lagi, implikasinya adalah pelanggaran konstitusi. ”Begitu ada presidential threshold , itu berimplikasi melanggar konstitusi karena masa hasil Pemilu 2014 menghasilkan dua presiden,” ujar anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di DPR Lukman Edy pada diskusi yang sama. 

 

Lukman yang juga ketua Pansus RUU Pemilu ini menyebut penghapusan presidential threshold penting disepakati karena baik bagi semua parpol, khususnya bagi partai menengah dan kecil. Menghilangkan pembatasan meminimalisasi potensi tergerusnya dukungan suara akibat persepsi yang salah pada masyarakat tentang partai pengusung capres untuk konteks pemilu yang digelar serentak. ”Sekarang kalau ada threshold , suara partai menengah dan kecil bisa tergerus karena masyarakat menganggap dukungan ke kita (partai menengah dan kecil) sama saja ke partai besar karena mendukung capres yang sama,” kata Lukman. 

 

Dalam pandangan Partai Gerindra, hal yang lebih penting diwujudkan di pemilu mendatang adalah asas demokrasi. Artinya, seyogianya semua parpol peserta pemilu diberi hak yang sama tanpa perlu dibatasi, termasuki dalam pengajuan capres. Gerindra termasuk yang terdepan mendukung agar presidential threshold 0%. ”Kita berilah kesempatan kepada semua. Gerindra sebagai pemenang ketiga Pemilu 2014 saja memikirkan nasib partai lain,” ujar anggota Fraksi Partai Gerindra di DPR Riza Patria. Riza mengatakan, melalui penghapusan threshold, ada upaya untuk memperkuat keberadaan parpol. 

 

Selain itu juga bisa diarahkan untuk memperkuat sistem presidensial. ”Penguatan sistem presidensial salah satu caranya adalah penguatan parpol, ya tadi itu, dengan memberikan kesempatan semua maju sebagai pemimpin,” katanya. Di lain pihak, parpol besar seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) justru ingin agar aturan threshold dipertahankan dengan alasan demi menjaga kualitas demokrasi. Anggota Fraksi PDIP di DPR Arteria Dahlan menolak anggapan bahwa aturan threshold bertujuan memberangus instrumen kelembagaan parpol. Sebaliknya, itu justru untuk memperkuat legitimasi hasil pemilu. 

 

”Tanpa presidential threshold saja, legitimasi pemilu dipertanyakan, apalagi kalau itu kita hilangkan,” ucapnya kemarin. Dia juga menepis kekhawatiran akan muncul calon tunggal di pilpres karena cita-cita menjadi presiden disebutnya keinginan banyak orang. ”Pemerintah, termasuk kami di PDIP, juga tidak menghendaki calon tunggal, makanya tidak perlu menebarkan kekhawatiran,” kata anggota Komisi II DPR ini. Pakar hukum tata negara Margarito Kamismengaskanbahwaaturanambang batas itu janggal dan tidak bisa diterima dengan pemahaman hukum. 

 

Apalagi di UUD 1945 disebutkan bahwa peserta pemilu adalah parpol. Itu artinya semua parpol berhak mengajukan calon untuk pemilu legislatif dan presiden. ”Kalau partai hanya memilih anggota DPR, lalu tidak ikut pilpres, itu pemilu apa? Makanya partai harus bisa mengusung caleg dan capres, itu konsekuensi dari pemilu serentak,” ucapnya. 

 

Dian Ramdhani