PRO KONTRA RUU TEMBAKAU

Tuesday, 30 Nov 1999 - 00:00 WIB

Komisi Nasional Perlindungan Tembakau menilai Rancangan Undang-undang Pertembakauan yang kini mulai masuk tahap harmonisasi di DPR hanya untuk melindungi industri rokok, bukan bagi rakyat ataupun petani tembakau di Indonesia.

Ketua Komnas PT Kartono Muhammad mengatakan upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat dari bahaya merokok masih jauh dari kata cukup. Pemerintah hanya mengatur biaya cukai rokok, membuat aturan pembatasan peredaran rokok, pembatasan iklan dan sponsorship, serta mewajibkan produsen mengunakan gambar peringatan bahaya merokok di bungkus rokok.

‎‎"Harga rokok di Indonesia terlalu murah. Bahkan anak-anak dan orang miskin bisa membeli rokok, karena dijual per batang dan dibiarkan beriklan bebas," kata Kartono dalam diskusi POLEMIK warung daun, Cikini Jakarta, Sabtu (28/5).

Lebih lanjut, Kartono menyarankan pemerintah untuk meningkatkan biaya cukai rokok. Cukai menurutnya adalah pungutan khusus yang dikenakan pada konusmen barang-barang berbahaya‎.

Selain itu, ‎menurutnya, sebagai salah satu negara yang ikut merumuskan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), Indonesia sudah sepantasnya ikut meratifikasi konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau itu. FCTC menurutnya berkaitan dengan peningkatan posisi Indonesia dalam perdagangan global. "Ratifikasi FCTC itu jalan tengahnya," ucap Kartono.

Sementara itu, Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas, menjelaskan pentingnya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan. Selama ini pemerintah dianggap belum cukup melindungi warganya dari bahaya rokok.

"Tenaga kerja yang terserap di manufaktur enam juta orang, dari mulai pabrik sampai distribusi. Ini harus kita perhatikan. Lalu petani hampir ada dua juta orang. Berarti ada delapan juta orang terkait ini," kata dia.‎

Serta mengusulkan, agar perokok membayar premi asuransi untuk membiayai pengobatan berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh rokok. "Semisal premi asuransi 10 persen dari harga sebungkus rokok," katanya saat diskusi terkait PRO DAN KONTRA RUU TEMBAKAU, diJakarta, Sabtu (28/5).

Supratman jufa mengakui, rokok menimbulkan biaya kesehatan besar yang harus ditanggung pemerintah. Ditengarai, sebanyak 30 persen dari total klaim harus dibayar dibayar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh rokok.

"Di sisi lain, negara juga mendapatkan kas dari cukai Rp 150 triliun dan omset industri rokok mencapai Rp 250 triliun per tahun." Atas dasar itulah, menurut Supratman, Badan Legislasi tengah mengharmonisasi draf undang-undang pertembakauan agar tak bertentangan dengan beleid lain. Terutama terkait kesehatan, tenaga kerja, dan perindustrian.

"Badan Legislasi ingin melihat secara komprehensif. Mumpung masih dalam taraf harmonisasi, semua pihak bisa memberi masukan agar kepentinganya terakomodir." Ujarnya.

            Menanggapi hal ini, Praktisi Hukum/Pegiat Pengendalian Tembakau, Patricia Rinwigati menyarankan, RUU Pertembakauan ini tidak perlu dibahas lagi. Pasalnya, dari berbagai macam draf yang beredar di publik, aturan yang ada dalam RUU ini sudah tercantum lebih lengkap di sejumlah Undang-undang lainnya.

"Semua yang diatur di RUU Pertembakauan sudah diatur di UU lain. DPR sudah buat UU Perlindungan Pemberdayaan Petani," kata Patricia Rinwigati, yang bisa disapa Ririn.

Ririn juga menjelaskan dalam UU Perlindungan Pemberdayaan Petani diatur agar pemerintah membantu petani dalam kesulitan, menyiapkan sasaran produksi, dan kegagalan panen. Menurutnya, justru UU ini sudah sangat komprehensif dan meliputi semua komoditas.

"Sudah diatur semua di situ. Sayangnya Peraturan Pemerintahnya (PP) belum ada. Kalau mau dibuat PP menurut Kementerian Pertanian," kata Ririn.

Ia mencontohkan UU lainnya yang ternyata diatur ulang di RUU Pertembakauan misalnya UU Perindustrian, UU Pertanian dan UU Perdagangan. UU ini dianggap sudah melalui proses yang panjang juga di DPR. Substansinya pun sangat spesifik. Sehingga ia mempertanyakan untuk apa dibuat lagi UU Pertembakauan.

"Aturan yang justru tidak diatur dalam RUU Pertembakauan dan tidak ada UU lainnya, misalnya soal dampak negatif produksi tembakau. Sebab UU Kesehatan hanya menyimpulkan beberapa pasal saja. Jadi itu belum diatur," Ungkap Ririn.

Menurutnya, justru poin dampak negatif rokok yang sebenarnya menjadi cikal bakal munculnya UU Pertembakauan khususnya pada 2007. Namun, seiring berjalan waktu hingga kini semangat tersebut hilang.

"Kenapa harus RUU Pertembakauan? Kenapa bukan RUU Sembako? Kenapa bukan produk lain? Apalagi dalam kenyataan penanaman tembakau hanya ada di 3 daerah, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan NTB," lanjut Ririn.

            Sementara itu, terkait pembahasan RUU Tembakau ini anggota komisi 4 DPR Andi Akmal Pasaludin mendorong adanya pembahasan menyeluruh dari hulu ke hilir. “pembahasan RUU ini harus holistik, yang berbicara dari hulu ke hilir dan tentunya memperhatikan kepentingan petani, tenaga dan kesehatan kita bersama” kata Andi Akmal.

            “keberadaan RUU ini juga diharapkan ada harmonisasi terhadap undang-undang yang sudah membahas masalah lain, seperti cukai, kesehatan dan juga tenaga kerja” tutup Andi Akmal Palasudin.