Kemenko PMK dan BPS gagas pembentukan Satu Data Migrasi Internasional

ANP • Monday, 22 Apr 2024 - 23:24 WIB

Jakarta - Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) bersama Badan Pusat Statistik (BPS) tengah menggagas pembentukan Satu Data Migrasi Internasional sebagai salah satu upaya menekan terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

 "Belum adanya data terintegrasi mengenai TPPO ini, kemudian BPS dan Kemenko PMK sedang menggagas satu data migrasi internasional," ujar Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK Woro Srihastuti Sulistyaningrum di Jakarta, Senin (22/4/2024).

 Woro mengatakan saat ini tiap-tiap Kementerian/Lembaga (K/L) memiliki data tersendiri dalam permasalahan migrasi, termasuk dalam data penanganan TPPO. Potensi perbedaan data antara K/L menjadi tantangan dalam memutus rantai TPPO.

Menurutnya, Satu Data Migrasi Internasional ini nantinya akan memberikan gambaran perihal data para pekerja migran Indonesia, mereka yang sekolah di luar negeri, diaspora, termasuk pekerja asing di Indonesia.

Ia menjelaskan Satu Data Migrasi Internasional diperlukan untuk beberapa kepentingan antara lain perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri dan pengambilan langkah kebijakan berdasarkan data tersebut.

"Kebutuhan payung hukum Satu Data Migrasi Internasional sebagai dasar pengambilan kebijakan perlindungan, termasuk pengawasan pelayanan kepada WNI," ujarnya.

Perihal kasus TPPO, kata dia, sejak 2019 hingga 2022 trennya terus meningkat, masing-masing berurut 2.258, 2.239, 2.514, dan 2.880 kasus. Kemudian sempat menurun meski tak signifikan pada tahun 2023 sebanyak 2.763 kasus.

Berdasarkan data Simfoni PPA, korban TPPO setiap tahunnya didominasi perempuan. Perempuan dieksploitasi di sektor rumah tangga dan perdagangan seks.

Ia merinci sejumlah faktor penyebab TPPO yakni kemiskinan dan pengangguran, rendahnya tingkat pendidikan dan skill yang berimplikasi pada terbatasnya akses ke sumber daya, serta kurang optimalnya peran dan fungsi keluarga.

Kemudian praktik diskriminasi gender (perkawinan anak, kawin kontrak, kawin siri), hingga berkembangnya bisnis pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.

"Bisnis ini berimplikasi pada berkembangnya yang ilegal dan non-prosedural serta minim pengawasan," katanya.