Pengamat Persampahan Pertanyakan Izin Produksi Galon Sekali Pakai

ANP • Monday, 19 Feb 2024 - 23:13 WIB

JAKARTA - Pengamat persampahan hingga saat ini mempertanyakan izin produksi galon sekali pakai. Pasalnya, kemasan tersebut dianggap melanggar UU 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang harus memperhatikan prinsip 3R yang meliputi Reduce (pengurangan), Reuse (menggunakan kembali), dan Recycle (mendaur ulang). 

“Karena, dalam Pasal 15 Undang-Undang tahun 2018 jelas disebutkan produsen harus bertanggung jawab terhadap produknya dan kemasannya. Seharusnya, kemasan galon sekali pakai itu masuk ke dalam izin produksi,” ujar Pengamat Persampahan Sri Bebassari baru-baru ini.

Apalagi, lamjutnya, dalam prinsip pengelolaan sampah itu yang pertama harus diperhatikan para produsen adalah sampahnya bisa dikurangi  (reduce), baru kemudian keemasan yang bisa digunakan ulang (reuse), dan recycle merupakan alternatif terakhir.  “Awalnya kan reduce atau mengurangi, kedua itu reuse atau menggunakan ulang, lalu recycle atau daur ulang uang terakhir. Nah, dalam kasus galon sekali pakai itu kenapa diizinkan? Itu kan jelas-jelas melanggar undang-undang, dimana produsennya langsung memproduksi kemasan galon recycle, sementara masih bisa menggunakan kemasan yang reuse,” tukasnya mempertanyakan izin dari produksi galon sekali pakai ini.  

Ketua Dewan Pembina Indonesia Solid Waste Association (InSWA) ini mengatakan produsen galon sekali pakai ini juga sama sekali tidak memiliki program after consumernya saat pertama kali diproduksi. “Itu kan harusnya ada izin dari Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, dan tentunya dengan Menteri KLHK-nya yang mengaturnya. Tapi sekarang justru sudah terlanjur banyak beredar di masyarakat. Ini jadi pertanyaan sampai sekarang kepada pemerintah,” tukasnya.

“Justru itu pertanyaan saya juga. Tidak masuk kepada izin produksi. Saya sampai sakit mikiri begituan. Jadi, PR kita masih banyak. Banyak sekali kebijakan-kebijakan yang dibuat yang sebetulnya bukan ahli dari dokter sampah, tapi masih dari tukang obat, dokter palsu, yang seolah-olah obatnya lebih manis padahal pahit. Itu yang terjadi sekarang ini saya lihat. Kebijakan yang bukan dari ahli sampah,” tuturnya. 
Guntur Sitorus, Ketua Umum InSWA menambahkan bicara mengenai pengelolaan sampah itu berarti bicara Undang-Undang, di mana pengelolaan sampah itu kegiatan yang sistematis berkesinambungan dan memerlukan pengurangan dan penanganan. “Jadi, ada pengurangan di situ. Kalau mengacu pada pengurangan itu, harusnya sampah jangan dibikin banyak-banyak, kalau bisa jangan ada sampah. Kan intinya begitu,” ucapnya.

Sementara, katanya, produksi model galon sekali pakai, itu akan menimbulkan sampah yang lebih banyak. “Justru harusnya pemerintah konsisten saja terhadap Undang-Undang mengenai mengurangan dan penanganan. Di situ kan filosofinya,” tukasnya. 

Jadi, lanjutnya, jangan ada industri yang kisruh seolah-olah produksi sampahnya bisa didaur ulang seperti galon sekali pakai. “Mereka kan hanya mengejar sirkular ekonomi. Itu nggak bener. Kenapa? Karena sirkular ekonomi itu kan sebenarnya satu cara untuk pemulihan material, tapi bukan berarti tujuannya itu. Jangan sampai untuk menghasilkan sirkular ekonomi yang banyak, hasilnya kita harus memproduksi sampah sekali pakai yang banyak,” ungkapnya. 
Makanya, menurutnya,  di istilah sampah itu bukan produksi sampahnya tetapi timbulan sampah. Katanya, kalau sampah produksi itu sesuatu yang disengaja sama seperti memproduksi susu dan sepatu. “Tapi, kalau disebut timbulan sampah, dimana sampah itu timbul dari efek samping kegiatan yang tidak disengaja untuk menimbulkan sampah. Selama filosofi itu digunakan, semestinya galon sekali pakai itu  harus dicegah,” tandasnya.
 
Menurutnya, solusi pengurangan sampah itu, dari proses produksinya harus didesain agar setelah mengonsumsi suatu produk, sisanya itu sekecil mungkin atau kalau bisa sama sekali tidak ada. “Jadi, jangan mengejar agar itu bisa menghasilkan sirkular ekonomi tapi malah menimbulkan jumlah sampah yang banyak,” katanya.