Pemilu 2024, Kegaduhan Perlu Diakhiri dan Tetap Merajut Persatuan

AKM • Friday, 22 Dec 2023 - 08:23 WIB

Jakarta  - Jelang pemilu 2024, potensi konflik ditengah masyarakat yang harus di antisipasi. Hal iru terutama terkait dengan masalah  keumatan dan kebangsaan yang terus di jaga.

Tokoh nasional Agum Gumelar mengatakan, untuk menyelesaikan masalah keumatan dan kebangsaan diperlukan kesepakatan yang mendasar tentang kebersamaan kita sebagai bangsa.

"Ada tonggak sejarah yang bisa kita lihat, dimana Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Setelah itu, para pejuang kemerdekaan mencari kebersamaan bersama setelah kita merdeka," kata Agum Gumelar dalam dialog, di Jakarta, Rabu (20/12).

Yakni mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjadikan Pancasila sebagai alat pemersatu. Sehingga ketika ada upaya untuk mengganti Pancasila dengan paham lain, harus diluruskan karena tidak menghargai para pejuang kemerdekaan.  

"Janganlah Pancasila ini dipermasalahkan lagi dan dikatakan tidak perlu kebersamaan. Butir-butir Pancasila itu harus dimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari," katanya.

Ketua Umum DPP Pebabri ini mengatakan, dua masalah keumatan dan kebangsaan ini akan selalu muncul terutama di dalam momen-momen bangsa seperti Pilpres.

"Kita harus menentukan satu langkah ke depan yang lebih kreatif, karena Pilpres 2019 lalu, adalah Pilpres yang sangat tidak kondusif, membuat masyarakat dan bangsa ini terpecah dan terpolarisasi," katanya.

Kegaduhan-kegaduhan selama ini, sebaiknya diakhiri dan mulai kembali merajut persatuan. Kemudian menyongsong Pemilu 2024 dengan semangat persatuan, menjadikan pemilu sekarang lebih kondusif dan demokratis.

Menurut Agum, ada tiga unsur utama yang berperan menjaga agar Pemilu 2024 lebih kondusif. Pertama adalah partai politik (parpol) yang menciptakan kaderisasi dan koalisi-koalisi. Dimana lebih dewasa dalam menentukan calon dan membaca aspirasi rakyat.

"Unsur kedua adalah KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Kita berharap agar KPU lebih profesional, lebih netral dan tidak berpihak," kata Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas ini.

Unsur ketiga, kata Agum, adalah rakyat pemilih punya kewajiban moral untuk mendewasakan dalam proses berdemokrasi. Berbeda pilihan itu merupakan hal wajar, dan sifatnya adalah sementara.

"Dan ini harus berakhir ketika Pilpres selesai, begitu selesai tidak ada perbedaan lagi. Hormati apapun yang menjadi keputusan demokrasi, realita politiknya. Itulah sikap dewasa yang harus kita tonjolkan, Insya Allah Pemilu 2024 tidak akan separah 2019. Itu harapan kami," katanya.

Namun, Agum berharap agar rakyat Indonesia dalam memilih pemimpin di 2024, hendaknya memperhatikan kriteria capres   yang kecintaannya kepada NKRI tidak diragukan.

Lalu, punya tekad kuat melanjutkan pembangunan yang baik dilakukan pendahulunya, dan meninggalkan yang tidak baik tanpa caci maki.

"Kemudian seseorang yang berani meminimalisir kegaduhan-kegaduhan agar pembangunan bisa berjalan sesuai harapan rakyat, dan Indonesia menjadi negara maju, negara adidaya seperti yang diharapkan Partai Gelora," pungkas Agum.

Sementara itu, ada dua isu penting yang kerap muncul di tiap gelaran pemilihan umum (Pemilu). Yakni isu keumatan dan isu kebangsaan yang selalu dipertentangkan.

Meski situasi sekarang dirasa jauh lebih tenang dan lebih kondusif, namun kondisi Pilpres 2024 tetap ada bibit ketegangan yang bisa mengancam disintegrasi bangsa.

"Sebenarnya semangat kebangsaan dan keumatan ini tidak perlu kita polarisasi. Kita bisa menyatukannya, kalau kita punya kedewasaan kesadaran berbangsa," kata Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta.

Menurut Anis, peran para tokoh sesepuh bangsa seperti Pak Agum Gumelar ini, memposisikan dirinya sebagai pemersatu bangsa. 

"Jadi disinilah peran para tokoh sesepuh bangsa seperti Pak Agum Gumelar ini, memposisikan dirinya sebagai pemersatu bangsa. Karena konsep mereka memang untuk memastikan bagaimana bangsa ini agar on the track," tuturnya.

Hal ini menurutnya, menjadi kata kunci dalam kesatuan dan keutuhan sebagai bangsa. Anis Matta menilai pembelahan di kanan, kiri dan tengah merupakan warisan politik jauh sebelum Indonesia merdeka. 

"Warisan pembelahan ini diperkuat lagi di zaman Orde Baru, karena partai-partai kanan dilebur menjadi satu, PPP. Sedangkan yang kiri dilebur menjadi PDIP, dan tengah ada Golkar," ungkapnya.

Persoalan fundamental yang harus diselesaikan dalam jangka menengah dan jangka panjang terkait pembelahan, adalah masalah polarisasi politik. Polarisasi terjadi, pada dasarnya karena tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah.

"Tapi kalau kita lihat dalam masyarakat yang berpendidikan tinggi, rata-rata masyarakatnya lebih toleran, karena mungkin orangnya lebih sejahtera," katanya.