Pengamat: Presiden Tidak Boleh Cawe-Cawe Proses Hukum

ANP • Saturday, 2 Dec 2023 - 20:26 WIB

JAKARTA -  Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa dimaknai telah mengintervensi proses penegakan hukum di tanah air.

Hal tersebut dikatakan Emrus menanggapi pernyataan mantan Ketua KPK Agus Raharjo yaang mengaku pernah dimarahi oleh Presiden Jokowi lantaran lembaga antirasuah itu mengungkap kasus megakorupsi e-KTP.

Bahkan, berdasarkan pengakuan dari Agus, bahwa Jokowi marah kepada dirinya, dan memintanya agar kasus korupsi e-KTP tersebut untuk dihentikan. Untuk itu, Emrus mendesak agar para pihak yang terkait harus membuka terang benderang pengakuan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo tersebut.

“Agus Rahardjo diminta Jokowi hentikan kasus e-KTP mencuat ke ruang publik sehingga telah menjadi agenda media dan agenda publik yang sangat luar bisa akhir pekan ini. Publik tercengang dan seakan bertanya, kok bisa begitu ya? Apa itu sebuah kebenaran?” kata Emrus dalam keterangan tertulis

Menurut Emrus, ungkapan Agus Rahardjo tersebut sangat penting dan mendasar, tidak boleh dianggap remeh-temeh dalam proses penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia.

“Sebab, sistem demokrasi di negara kita, Presiden mutlak dilarang oleh konstitusi cawe-cawe mengintervensi proses berjalannya penegakan hukum di Indonesia,” ujarnya.

Karena itu, dari aspek komunikasi publik, pernyataan Agus Rahardjo tersebut mutlak harus dibuka secara terang benderang, sehingga tidak ada “drakor” di antara sesama anak bangsa.

“Ungkapan Agus Rahardjo tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja, lalu menguap hilang ditelan waktu. Sebab, pernyataan Agus Rahardjo itu sangat dapat bermakna bahwa Presiden Jokowi mengintervensi penanganan kasus hukum di Indonesia,” jelasnya.

Selain itu, lebih luas lagi bahwa bisa saja semakin menyakinkan publik tentang dugaan bahwa keputusan MK terkait usia minimal capres/cawapres sebagai produk gagal yang tidak lepas dari intervensi dan relasi kekuasaan.

“Untuk itu, ada dua hal yang harus dilakukan para pihak terkait agar seluruh rakyat Indonesia mengetahui secara terang benderang tentang kasus yang diungkap ke publik oleh Agus Rahardjo. Rakyat berhak tahu,” ungkap Emrus.

Pertama, Jokowi dan Agus Rahardjo harus melakukan klarifikasi live di Program Rossi, Kompas TV dengan dimoderatori oleh Rosianna Silalahi, sehingga dugaan upaya penghentian kasus E-KTP tersebut menjadi terbuka terang benderang. Klarifikasi ini tak baik diwakilkan.

Kedua, Agus Rahardjo mutlak harus membuktikan ungkapan/dalilnya tersebut. Agar pengungkapan dilakukan dengan formal, maka para pihak yang dirugikan, terutama boleh jadi Jokowi pada posisi merasa dirugikan, seharusnya ia melaporkan Agus Rahardjo ke aparat penegakan hukum.

Sebab, kata dia, pernyataan Agus Rahardjo tersebut dapat dikategorikan sebagai tuduhan yang serius. Jika benar apa yang dilontarkan oleh Agus Rahardjo, reputasi Presiden Jokowi akan tergerus merosot di tengah masyarakat.

Emrus berpandangan, untuk membantah pernyataan Agus, boleh jadi pihak Istana melakukan dua hal dalam memulihkan nama baik Jokowi lantaran disebut telah mengintervensi penegakkan hukum.

Pertama, mengangkat sebuah isu yang setara atau lebih seksi untuk menutupi persoalan yang diungkap oleh Agus Rahardjo. Tindakan ini biasanya dilakukan olah para pecundang sebagai tirai penutup dari lontaran pesan yang disampaikan.

Kedua, dengan upaya “akal-akalan” metodologi, lembaga survei sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pemilik dan relasi kuasa bisa saja melakukan penelitian bahwa responden tetap puas dengan kinerja pemegang kekuasaan dan elektabilitas paslon yang didukung kekuasaan tertentu tetap terjaga, sekalipun itu kontra logika