Riset 6 Kota, Teridentifikasi 635 Varian Sampah Plastik Kemasan yang Sulit Diolah

AKM • Wednesday, 22 Nov 2023 - 15:48 WIB

Jakarta - Litbang Kompas dan Net Zero Waste Management Consortium merilis laporan riset permasalahan sampah plastik di Indonesia. Laporan riset bertajuk "Potret Sampah 6 Kota: Medan, Samarinda, Makassar, Denpasar, Surabaya dan DKI Jakarta”memberi penekanan khusus pada kemasan plastik kecil yang sulit diolah, kurang bernilai ekonomis dan mudah tercecer, seperti saset, plastik kresek, bungkus mie instan dan air mineral kemasan gelas, yang mendominasi pembuangan akhir sampah.

Digelar serempak di enam kota pada 2022, audit investigasi sampah plastik mencakup pengumpulan, pemilahan dan identifikasi sampah di 17 sampel Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di setiap kota.

"Hasilnya teridentifikasi 1.930.495 buah sampah plastik yang terbagi dalam 635 varian sampah produk konsumen dari berbagai merek," kata Ahmad Safrudin, lead researcher Net Zero dalam keterangan tertulis, Jakarta, Rabu (22/11).

Ahmad Safrudin mengatakan pihaknya menermukan serpihan kemasan produk berbagai brand yang mendominasi timbuman sampah.

"Serpihan kemasan produk berbagai brand, termasuk sampah botol dan cup minuman dalam kemasan, mendominasi timbuman sampah di berbagai site dan rantai jalur sampah termasuk di TPA di enam kota besar,” ungkapnya.

Menurutnya, hal tersebut mengindikasikan willingness (keinginan) produsen atau pemilik brand menjalankan dua program pilar pengurangan sampah, yakni EPR dan up sizing, belum efektif.

“Extended Producer Responsibility atau EPR adalah prinsip perluasan kewajiban yang ditetapkan pemerintah untuk produsen agar bertanggung jawab atas keseluruhan daur hidup setiap produknya, terutama terkait pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir produk,” tambahnya.

Up Sizing adalah arah kebijakan packaging yang ditetapkan pemerintah dengan maksud agar produsen meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum untuk mengurangi potensi timbulan sampah.

Ahmad Safrudin menjelaskan audit investigasi sampah di enam kota berhasil menghadirkan potret faktual pengelolaannya di tengah masyarakat.

"Pengamatan selama audit sampah di 6 kota menunjukkan belum ada praktik pengurangan sampah melalui pengumpulan dan pembuangan terpilah dengan berorientasi pemanfaatan sampah seoptimal mungkin. Semua masih berlaku sebagaimana adanya (business as usual),” katanya.

Dia mengkritisi pemerintah Kabupaten/Kota yang menurutnya tidak menyiapkan sistem dan infrastruktur program pengurangan sampah dengan penempatan dan pengumpulan terpilah.

"Inisiatif warga baik pribadi maupun komunal di level RT/RW pupus ketika menyaksikan bahwa petugas sampah kembali menyatukannya (di gerobak sampah, di TPS, di truk, di TPA) atas sampah hasil pilahan mareka,” jelasnya.

Sebenarnya, menurut Ahmad Safrudin, pemulung dengan jaringan lapak dan agen barang-barang bekas telah mandiri dalam penyerapan sampah berpotensi daur ulang dan guna ulang. 

"Namun karena aktivitas mereka murni bermotif ekonomi, bisa dimaklumi bila jenis sampah yang kurang/tidak bernilai ekonomis cenderung mereka terlantarkan, dibakar ditimbun di tanah kosong, atau dibuang di kali,” urainya.

Selain itu, Ahmad Safrudin mengungkap, peran bank sampah di keenam kota tersebut masih belum signifikan lantaran melulu berorientasi pada sampah bernilai tinggi sehingga tidak berbeda dengan pelapak/pemulung yang sebatas melakukannya dengan motif ekonomi.

"Sebagian bank sampah hanya hadir di waktu-waktu tertentu, yaitu ketika ada kunjungan (pejabat, tamu studi banding), project simulant, dll. sehingga banyak sampah yang tidak terserap,” tambahnya.

Secara keseluruhan, Ahmad Safrudin menyatakan situasi di 6 kota menunjukkan bahwa pengelolaan sampah masih sebatas pada pengelolaan fisik semata (alat/tenaga kebersihan, bak sampah, gerobak/truk sampah, TPS, TPA) dan belum berimbang pada pembangunan participatory yang berorientasi pencegahan dan pengurangan. 

“Sebagian besar pejabat yang mengelola sampah tidak memiliki sense of crisis terkait masalah sampah perkotaan, sehingga kebijakan yang diambil senantiasa hanya melakukan rutinisan dan pengulangan yang terbukti tidak efektif dalam mengelola sampah yang senantiasa meningkat volumenya dari tahun ke tahun. Terbukti, beban sampah menjadi besar dan bahkan kian mengarah menjadi bencana yang ditandai a.l. kebakaran TPA di berbagai kota/kabupaten pada kemarau 2023 ini,” tandasnya.

Sementara itu, Nila Kirana dari Litbang Kompas menjelaskan temuan lapangan tersebut sejalan dengan survei persepsi publik di enam kota atas persoalan sampah. 

"Dari survei Litbang Kompas di enam kota diketahui sampah dari kemasan produk makanan, produk minuman, produk kecantikan dan kebersihan, dan produk kesehatan merupakan sampah kemasan yang dominan menurut persepsi masyarakat" kata Nila Kirana.

"Jajak pendapat juga mendapati 77,5% responden yang tidak pernah mengumpulkan kemasan dan mengembalikannya ke produsen serta terdapat 75,7% responden yang tidak pernah mengumpulkan produk yang sampahnya dikumpulkan oleh produsen," kata Nila Kirana.

Nila mengungkapkan, hasil jajak pendapat di enam kota ini sedikit banyaknya memberi gambaran apa yang ada di pikiran masyarakat.

“ Apa yang mungkin telah berkembang menjadi persepsi masyarakat, mindset masyarakat dan bahkan ada di antaranya yang telah menjadi kebiasaan yang nyaris mempengaruhi kultur masyarakat dalam mengelola dan memperlakukan sampah," kata Nila Kirana.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Vivien Rosa Ratnawati, menyambut baik temuan riset tersebut. 

"Kementerian menyambut baik riset yang dimaksudkan untuk memberikan input kepada Pemerintah dan para pihak terkait untuk mereview dan memberikan fokus untuk efektivitas pelaksanaan program pengurangan sampah," katanya.

Vivien Rosa Ratnawati melanjutkan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No P.75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen sebenarnya ditujukan kepada para produsen.

"  Produsem sebaiknya  segera mengurangi kemasan produk yang sulit diurai oleh proses alam, tidak dapat didaur atau digunakan ulang," pintanya.