Djisman S.Simandjuntak: Bahasa itu Sinyal Kepribadian, Temukan itu dari Para Capres-Cawapres dan Caleg dalam Kampanye

ANP • Monday, 13 Nov 2023 - 20:08 WIB

JAKARTA -  Ekonom dan Rektor Universitas Prasetiya Mulya Djisman S. Simandjuntak berpendapat bahwa seorang calon baik capres-cawapres maupun para wakil rakyat yang akan kita pilih, dapat terungkap sinyal kepribadiannya dari bahasa-bahasa yang mereka ungkapkan dalam sebuah kampanye Pemilu.

Menurut Djisman, bahasa itu merupakan pembeda utama antara manusia dengan hewan.

“Kita bisa menggunakan bahasa untuk menyembunyikan niat, mengungkapkan rasa murka, tapi juga mengungkapkan belas kasih, kekaguman, berandai-andai dan lain-lain.

Bahasa adalah sesuatu yang sangat melible (mudah meleleh), bisa diputar-putar untuk mengungkapkan sesuatu yang penting maupun tidak penting," katanya saat membuka acara Diskusi Publik: Bahasa dan Kampanye Pemilu yang diselenggarakan Universitas Prasetiya Mulya dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di Jakarta, Kamis (9/11/2023).

Diskusi menghadirkan pembicara yakni Sastrawan dan Rektor IKJ 2016-2020 Seno Gumira Ajidarma, Dosen Desain Komunikasi Visual IKJ Iwan Gunawan, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Indonesia Prof Zeffry Alkatiri, dan Guru Besar Ilmu Marketing Prof Agus W. Soehadi.

Dikatakannya, bahasa yang dipakai seseorang juga memberi sinyal tentang kepribadian orang itu.

“Saya suka membaca puisi. Saat saya membaca puisi Schiller, (saya) membandingkan dengan bahasa Adolf Hitler. Mereka sama-sama dari Jerman, punya bahasa yang sama, bangsa yang sama. Tetapi ungkapan bahasa mereka berbeda. Schiller menganggap kita semua bersaudara, sebaliknya, Hitler menganggap orang Yahudi harus dimusnahkan,” ungkap Djisman.

Djisman berpendapat, umumnya kita sering terpengaruh dari bahasa yang dipakai seseorang seperti ketika zaman kolonial dulu, kalau Presiden Soekarno akan berpidato, banyak orang berbondong-bondong berkumpul, termasuk yang tidak dapat langsung mendengar bergegas mendekati radio dan dengan seksama mendengarkan. Dari pidato itu banyak orang bersemangat, bergairah memperjuangkan kemerdekaan.

Maka, Dsjiman mengajak agar para pendengar dalam kampanye memperhatikan gaya bahasa yang dipergunakan para capres-cawapres maupun para caleg agar menemukan sesuatu yang berharga dari perbedaan-perbedaan mereka, demi bisa mendapatkan pertimbangan yang baik saat kita akan memilih mereka dalam Pemilu nanti.

Sebuah contoh diungkapkannya.

“Calon anu, saya masukkan dalam (konteks) Hak Asasi Manusia, hasilnya lain sekali. Calon anu lain saya masukkan dalam Sains dan Teknologi, hasilnya juga lain sekali. Calon lain lagi saya masukkan dalam Politik Luar Negeri. Semua punya bahasa dan ungkapan yang berbeda-beda. Dari sini paling tidak kita mencoba memahami bagaimana arah perjalanan seseorang dari ungkapan bahasa yang mereka pakai”, imbuhnya.

Dari internet kita sudah terlalu banyak menerima dan membaca bahasa-bahasa buruk; misinformasi, hoaks, berita bohong, ujaran kebencian. “Dengan diskusi ini semoga kita semakin kritis dan pandai-pandai menyaring, bagaimana seharusnya bahasa ini kita pergunakan dan kita mengerti hakikatnya secara sungguh dalam sebuah kampanye”, simpulnya.

Dalam kesempatan sama, Sastrawan dan Rektor Institut Kesenian Jakarta 2016-2020 Seno Gumira Ajidarma berpendapat, masyarakat perlu kritis dalam membaca, mendengar, menyaksikan sebuah kampanye di media.

Menurutnya Seno, yang penting untuk semakin disadari oleh masyarakat dalam memahami sebuah kampanye pemilu adalah literasi bahwa apa pun yang kita lihat dan dengar dalam kampanye pemilu umumnya kita terima melalui media.

“Dan (apa yang disampaikan) media itu sesungguhnya bukan realitasnya. Kita sering kurang sadar akan hal ini; dari mulai bangun tidur kita membuka media melalui TV atau HP, kita sering tidak sadar bahwa semua yang kita saksikan itu adalah ‘bikinan’ orang, bikinan tim, atau buatan orang usil, melalui proses editing, editor, melalui posisi media, dan segala macam terkait proses teknis itu, itu semua tidak ada yang riil sama sekali”, ungkapnya.

Menurutnya, umumnya bahasa kampanye itu bisa dianalisa bila kita bersikap kritis.

"Kampanye baik maupun buruk bisa kita analisis. Ada kampanye yang disajikan dengan gaya bahasa eufemisme, menyerang secara halus. Itu boleh-boleh saja. Tapi yang terpenting bagi kita (dalam menghadapi semua yang disampaikan dalam kampanye) adalah membentengi diri kita dengan sikap kritis. Yang pertama menyadari bahwa (berita dan isi kampanye) ini adalah konstruksi. Konstruksi itu bisa baik, bisa buruk. Kalau yang baik saja bukan realitas, apalagi yang buruk”, katanya.

Dengan sikap kritis dan cara pengamatan seperti itu, bagi Seno, kita bisa terhindar dari informasi-informasi yang tidak benar dan nyata, sehingga kita tidak mudah menjadi korban kampanye yang buruk.

“Sebuah jurnalisme yang bagus sekalipun, itu tetap memanipulasi pembacanya. (Mereka punya motivasi) supaya dihargai, supaya dianggap bagus. Semua itu adalah suatu tehnik atau metode, suatu pembahasaan, atau pencitraan. Dengan kesadaran utama itu kita akan lebih cerdas dan pintar mengamati, kita bisa “survive” dalam hiruk pikuk kampanye pemilu. Kita tidak akan mudah termakan isu dan akan mempertimbangkan apa pun bahwa demokrasi itu semua tergantung (kita sebagai) pemilihnya yang menentukan”, katanya.

“Kita mesti membuat sebuah ‘kesetaraan yang emansipatoris’. Kalau saya ‘dikibuli’, kita tahu ‘kibul’-nya. Sebaliknya, kalau kita hanya percaya saja pada apa yang dibahasakan dalam setiap kampanye, yang paling halus maupun yang paling intelektual sekalipun, kita akan menjadi korban saja," kata Seno.

Mengutip ungkapan filsuf Michel Foucault, kata Seno kekuasaan itu selalu menghadapi perlawanan.

“Di mana ada kekuasaan, di sana ada perlawanan yang artinya kekuasaan itu selalu dinamis, tidak absolut, dia adalah hubungan-hubungan ragam kuasa, yang bersirkulasi, yang ternegosiasi, tersebar di negara, sekolah, agama, lembaga militer, regulasi, media , dan lain-lain,” katanya.

Dengan demikian, dalam kontek membaca para kontestan dalam kampanye yang akan masuk kekuasaan, masyarakat perlu sikap yang cerdas dan kritis agar dapat mempertimbangkan segala pilihanya secara matang dan sebaik-baiknya.


Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Indonesia Prof Zeffry Alkatiri berpendapat, peran akademisi dalam kampanye pemilu adalah menyadarkan masyarakat bahwa semua yang dilakukan dalam kampanye adalah perebutan ruang-ruang framing.

Menurut Zeffry, tugas akademisi semestinya mengedukasi masyarakat tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam sebuah proses kampanye, dalam apa yang umumnya dibuat oleh tim kampanye calon tertentu untuk menciptakan sebuah framing atau yang dulu dikenal sebagai propaganda yang akan disampaikan kepada masyarakat.

“Tujuannya umumnya hanya agar orang memilih mereka. Caranya adalah dengan memberi figura tertentu sesuai dengan apa yang menjadi kepentingan tim kampanye”, ungkap Zeffry.

Apa yang pernah dilakukan para politikus di masa kolonial, jelas Zeffry, yang sering menggunakan propaganda dalam mempengaruhi masyarakat, sekarang ini juga dilakukan para juru kampanye atau tim pemenangan calon tertentu.

“Metode dan strateginya lebih canggih lagi. Namun pada intinya sama. Bagaimana mereka menggunakan narasi untuk mempengaruhi masyarakat,” jelasnya.

Masyarakat perlu lebih sadar dan mencermati lagi bahwa semua framing dalam kampanye sekarang ini terjadi secara masif dan canggih di ruang-ruang narasi yang ada dalam genggaman kita.

“Di telepon genggam kita, baik itu merek dari Amerika, China, Korea, Taiwan atau lokal, semua punya aplikasi atau media yang menampung perebutan ruang-ruang narasi itu”, tambahnya.

“Sekarang ini misalnya, di HP kita ada setidaknya tiga perebutan ruang narasi. Pertama kita disuguhi perebutan narasi produk-produk kapitalis, yang sifatnya sangat kompetitif, yang memperebutkan keinginan kita, emosi kita, kerangka pikir kita, agar kita membeli. Kedua, kita juga ditunjukkan perebutan narasi-narasi keyakinan, yang menjelaskan bahwa keyakinan A paling benar dan keyakinan B salah dan sebagainya. Dan ketiga, kita juga mau tak mau disodori perebutan narasi perang media; yang menyajikan media yang pro dan kontra dengan wacana masyarakat, yang pro dan kontra Barat atau Non-Barat, juga yang pro dan kontra kebijakan pemerintah. Semua framing itu harus bisa kita tangkal secara kritis, sehingga kita bisa berdiri secara netral dan memilah mana yang baik, mana yang buruk”, pungkasnya.