Revisi UU ITE, Ciptakan Proses Demokrasi Lebih produktif dan Cegah Hoaks 

AKM • Friday, 10 Nov 2023 - 14:09 WIB

Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Hermanto mengakui salah satu pertimbangan dari revisi UU ITE adalah melakukan perbaikan aturan berkaitan dengan proses demokrasi di negeri ini.

“Ini yang menurut saya secara personal undang-undang ini perlu kita memberikan penguatan kepada setiap orang supaya ketika berbicara nanti, itu ya mikir-mikirlah. Konten yang disampaikan orang, bisa membuat tersinggung apa nggak,” ujar Hermanto dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema ‘Revisi UU ITE Cegah Kampanye Hitam Pemilu 2024’ di Gedung  Parlemen, Jakarta, Selasa (7/11).

Selanjutnya, hal yang juga menjadi penekannya adalah perbaikan aturan UU ITE yang mengarahkan kepada siapapun untuk melakukan konfirmasi kebenaran dari sebuah berita yang disampaikan.

“Kedua berita yang disampaikan ini benar atau tidak? Ketiga berkaitan dengan yang disampaikan ini akan terikat atau jatuh pada ketentuan KUHP dan terkait dengan sanksi dan lain. Nah, ini harus kita pikirkan,” imbuh Anggota DPR dari Fraksi Partai keadilan Sejahtera (FPKS) ini.

Lebih jauh, Hermanto menekankan ada satu pasal dalam UU ITE yang berlaku saat ini yaitu Pasal 27 ayat 3 yang menyatakan melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pasal 27 yang dikenal juga sebagai “pasal karet” dinilai sebagian masyarakat berbahaya. Terlebih lagi jika diterapkan oleh pihak-pihak yang tidak paham soal dunia maya yang kerap menggunakan media sosial (medsos). Selain itu, pasal tersebut juga bisa digunakan dengan mudah untuk menjerat orang-orang demi membungkam kritik.

Dalam penilaian Hermanto, Pasal 27 tersebut diakuinya cenderung membatasi masyarakat dalam hal yang bersifat komunikasi dan upaya membangun Indonesia agar jauh lebih baik lagi.

“Sehingga revisi undang-undang ITE sangat urgent, walaupun nanti ada yang akan sensitifitas tingginya itu dalam pasal 27, disitu nanti ada sanksi dan segala macamnya ada pembatasan-pembatasan. Ada nanti yang menafsirkan beberapa pasal karet,” ujarnya.

Sementara itu,  Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago mengaku Pasal 27 UU ITE taleh banyak digunakan sejumlah pihak untuk menjerat pihak-pihak tertentu ke dalam penjara.

“Sebetulnya yang menjadi korban dari undang-undang ini sudah banyak, terutama aktivis. Bukan aktivis sepatu miring, tapi aktivis yang sebetulnya agak kritis, seperti ada Bang Haris Azhar, termasuk ada Rocky Gerung, nanti mungkin yang lainnya menunggu waktu juga,” ungkap Pangi.

Pangi yang juga Direktur Eksekutif Voxvol Center menambahkan pada dasarnya ia sangat setuju dengan Presiden Jokop Widodo tentang pentingnya menjaga budaya demokrasi, sopan santun dalam berdemokrasi dan santun bermedsos. Namun, dalam konteks kebebasan demokrasi, ia mengakui sekarang ini makin sulit menemukan freedom of expression (kebebasan berekspresi) dan freedom of speech (kebebasan mengemukakan pendapat).

Dari hasil survei yang dilakukan lembaganya, Pangi mengungkapkan sebanyak 20% masyarakat saat ini takut berpendapat di muka umum karena takut akan ancaman kelompok tertentu. Sebanyak 23% takut menyampaikan pendapat karena takut ancaman kriminalitas dipenjarakan.

Pangi menekankan dalam konteks membangun negeri, sudah sewajarnya masyarakat bebas berpendapat. “Jadi kalau negara itu ingin maju harus ada kebebasan, salah satunya adalah kebebasan berpendapat,” ujarnya.

Di sisi lain, Pangi mengungkapkan hasil survei juga menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat sekarang ini semakin memburuk yang penurunannya mencapai 30%.

“Kebebasan berpendapat di Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, semakin memburuk itu 30%. Tidak ada perubahan 34%, kondisi demokrasi tidak ada perubahan 38%,” terang Pangi.