Putusan MK soal Capres dan Cawapres Disebut Sarat Muatan Politik Pragmatis

FAZ • Sunday, 22 Oct 2023 - 06:44 WIB

Jakarta - Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, tanggal 16/10/2023, mengukuhkan Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga, demi mengakomodir hasrat politik kepala daerah tertentu mendapat karpet merah  sebagai Capres-Cawapres 2024,

Demikian rangkuman pandangan tiga nararasumber, Petrus Selestinus, S.H., advokat dan koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI); Tama S. Langkun, Jubir TPN Ganjar-Mahfud dan Emrus Sihombing, komunikolog Indonesia pada diskusi publik yang diselenggarakan Lembaga Gogo Bangun Negeri (GBN) bertajuk “Keputusan MK, Adil Untuk Siapa”, Sabtu, 21 Oktober 2023 di Kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Menurut Petrus Selestinus, keputusan MK berpotensi melanggar konstitusi dan UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023   berpotensi melanggar rambu-rambu berupa asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 3,4, dan ayat 5, sehingga berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat 6 dan ayat 7 UU No. 48 Tahun 2009, putusan MK itu menjadi tidak sah dengan segala akibat hukumnya,” jelas Petrus.

Akibat hukumnya, Petrus menambahkan, putusan MK yang bersifat final dan mengikat itu serta merta kehilangan sifat mengikat berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat 6 UU No. 48 Tahun 2009. Selain itu, lanjut Petrus, Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Anwar Usman bisa saja atau berpotensi dilaporkan secara pidana ke aparat hukum. Khusus Anwar Usman dapat diadukan ke Mahkamah Kehormatan Hakim Konstitusi untuk diproses atas dugaan pelanggaran etik dan berujung pemecatan.

"Jika Gibran Rakabuming dipasangkan sebagai Capres atau Cawapres, dengan menggunakan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, maka akan berpotensi digugat karena menggunakan putusan MK yang boleh jadi tidak sah," tambahnya.

Pada diskusi publik yang diselenggarakan Lembaga Gogo Bangun Negeri (GBN) yang didirikan Emrus Sihombing ini, Tama S. Langkun menyoroti secara tajam terkait dengan Keputusan MK, tanggal 16 Oktober 2023.

“Menurut saya putusan ini tidak untuk orang muda. Putusan MK seperti ini untuk mendorong orang muda, seperti yang digembor-gemborkan, ini tidak sama sekali untuk orang muda. Putusan ini tidak bilang begitu. Putusan ini bilang begini; berusia pada usia 40 tahun atau pernah sedang menduduki jabatan  yang dipilih secara langsung termasuk pemilihan kepala daerah. Ini berbicara tentang orang yang dipilih langsung melalui pemilu. Ini hanya bicara soal mungkin saja ada kepala daerah yang 40 tahun yang dijagokan," urai Tama S Langkun.

Selanjutnya Tama berpendapat, bicara legal standing, biasanya di MK sangat kuat.

"Sekarang tampaknya longgar. Kenapa longgar? Ada mahasiswa pengagum Wali Kota Solo, tiba tiba punya legal standing untuk menggugat.  Alasannya, karena mahasiswa anak muda. Kan tidak ada hubungannya juga. Sebab, yang digugat materi tentang kelapa daerah maju menjadi calon presiden/wakil presiden. Jadi, legal standing ini agak aneh. Kami juga pernah mengajukan permohonan gugatan ke MK, tapi ditolak karena legal standing tidak jelas. Nah, sekarang mahasiswa tiba-tiba diterima," kata Tama membandingkan.

Lebih lanjut Langkun menilai putusan ini telah merusak norma-norma hukum yang dijunjung tinggi oleh konstitusi. Sebagai open legal policy, perubahan umur minimal calon presiden/wakil presiden harus dikembalikan ke DPR bersama-sama Presiden. MK tidak mencampuri angka umur minimal 40 tahun karena tidak melanggar konstitusi.

"Konstitusi hanya menjamin soal orang bisa memilih dan dipilih. Jadi, hanya esensi saja. Tapi harus 40 tahun ya. Itu bukan urusan konstitusi. Itu urusan DPR dan Presiden,” tegas Tama.

Pada acara diskusi publik yang diselenggarakan oleh Gogo Bangun Negeri (GBN) tersebut, Emrus Sihombing mengatakan dirinya berkewajiban, sebagaimana diperintahkan UU, untuk menghargai keputusan MK. Sebab, keputusan bersifat final dan mengikat. Namun di sisi lain, mengajak masyarakat memberikan pemikiran atau kritis terhadap keputusan MK tertanggal 16 Oktober 2023 tersebut.

Pada bagian-bagian awal keputusan MK tersebut, menurut hemat Emrus, sangat tepat, menetapkan usia minimal sesuai dengan undang-undang yang berlaku, yaitu usia calon presiden dan wakil presiden minimal 40 tahun.

Namun selanjutnya, keputusan MK justru menimbulkan keprihatinan berbagai kalangan. Pemakaian kata “atau” untuk kepala daerah bisa menjadi calon presiden dan wakil presiden, sekalipun usianya di bawah 40 tahun, membuat keputusan MK sangat bertentangan dengan azas keadilan.

"Pengajuan calon presiden dan wakil presiden dari kepala daerah di bawah usia 40 tahun dikabulkan oleh MK, di tengah puluhan gubernur dan ratusan kepala daerah tingkat dua terjerat kasus korupsi. Artinya apa? MK memberikan suatu privilege (perlakuan eksklusif) terhadap kepala daerah untuk menjadi calon presiden/wakil presiden sekalipun umurnya di bawah 40 tahun. Keputusan ini tidak sejalan dengan dasar negara kita, Pancasila, sila ke lima, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia", mengapa?" tanya Emrus.

Pertanyaan kritikal, hanya kepada kepala daerah yang boleh menjadi calon presiden/wakil presiden sekalipun usianya di bawah 40 tahun.

“Kalau misalnya alasannya adalah persoalan Kepala Daerah adalah dipilih langsung oleh rakyat, bukankah anggota legislatif di semua tingkatan dan DPD RI dan kepala desa dipilih langsung oleh rakyat? Jadi, keputusan MK berpotensi menyakiti dan melukai hati rakyat karena keputusan tersebut jauh dari rasa keadilan masyarakat dalam bidang politik demokrasi,” ujarnya.

Karena itu, keputusan MK tersebut harusnya juga memuat bahwa kepala desa, anggota legislatif di semua tingkatan dan DPD RI bisa menjadi calon presiden dan wakil presiden sekalipun usianya di bawah 40 tahun, sebab mereka memperoleh posisi/jabatan tersebut karena dipilih oleh rakyat, sehingga lebih rasional sekalipun tetap belum sejalan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Kemudian kita lihat dari sudut lebih makro lagi. Apa memang pemberian privilege itu kepada kepala daerah,  bahwa mereka lebih berjasa untuk membangun bangsa dan negara? Saya kira tidak juga. Artinya apa? Kita boleh dong dari berbagai sumber yang ada di masyarakat, misalnya pengusaha, dosen, wartawan, petani, nelayan, buruh pabrik, penarik beca menjadi calon presiden/wakil presiden. Ada dosen di negeri ini masih muda, di bawah 35 tahun sudah doktor dan tulisannya berkualitas internasional. Secara kualitas, dosen tersebut tidak kalah, atau di atas kemampuan dari seorang kepala daerah yang mungkin maju sebagai calon presiden/wakil presiden pada pemilu 2024. Perlu kita ingat, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dipilih. Oleh karena itu, keputusan MK tersebut, menurut hemat saya, jauh dari keadilan berdemokrasi bagi setiap WNI," ujar Emrus memberikan argumentasi.

Tidak boleh terjadi karena saudara/famili, ikatan darah, atau teman sehingga yang berwenang memutuskan atau membolehkan calon presiden/wakil presiden dengan perlakuan privilege.

“Pemberian privilege terhadap keputusan teman-teman hakim di MK bisa saja publik mempersepsikan, memahami, memaknai bahwa itu merupakan suatu keputusan yang boleh jadi sarat muatan politis untuk kepentingan politik pragmatis sosok tertentu. Lihat saja, keputusan MK mendapat kritik dari berbagai kalangan. Sebagai suatu akal-akalan, misalnya. Bahkan sudah muncul diksi di ruang publik “Mahkamah Keluarga” sebagai singkatan dari MK," sebut Emrus.

“Keputusan MK tertanggal 16 Oktober 2023, dari aspek komunikasi publik, berpotensi menimbulkan wacana kurang poduktif di ruang publik.  Buktinya, silakan mengikuti berkembang pandangan yang kontra yang tampaknya lebih dominan menguasai ruang publik. Keputusan MK tersebut, ada yang berpendapat bahwa hal tersebut kewenangan daripada DPR bersama Presiden. Karena open legal policy, suatu kebijakan yang terbuka di dalam pembuatan undang-undang yaitu DPR bersama-sama Presiden. Sehingga keputusan MK bisa menimbulkan kegaduhan wacana di ruang publik,” Emrus menambahkan.

Oleh sebab itu, kata Emrus, pandangan para pakar hukum tata negara bahwa itu open legal policy masuk akal. Sebab, undang-undang (UU) diubah dengan UU. Penentuan usia minimal 40 tahun  menjadi calon presiden/wakil presiden berada di ranah UU.

Emrus mengusulkan lima saran mengakhiri wacana yang tidak produktif terkait keputusan MK tertanggal 16 0ktober 2023.

Pertama, presiden mengeluarkan Perpu agar siapapun yang menjadi calon presiden/wakil presiden, tanpa memandang jabatan dan latarbelakang pengabdian untuk bangsa dan negara, usia disamakan minimal 40 tahun. Perpu ini penting mewujudkan keadilan bidang kehidupan politik, khususnya berdemokrasi, sebagai turunan dari sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

"Ingat, Sekjen PBB memuji nilai Pancasila kita. Karena itu, kita semua, rakyat Indonesia, tak terkecuali teman-teman hakim di MK, wajib menerapkan, taat dan melestarikan nila-nilai Pancasila dalam segala perilaku dan kebijakan yang dibuat," tuturnya.

Kedua, Emrus mengusulkan DPR dan pemerintah segera mengubah UU yang mengatur usia minimum 40 tahun menjadi calon presiden/wakil presiden yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak boleh ada perlakukan privilege kepada kepala daerah, sehingga membolehkan mereka menjadi calon presiden/wakil presiden di bawah umur 40.

"Namun, saya menyadari, karena kepentingan pragmatis bukan ideologis, partai yang diuntungkan dengan keputusan MK kemungkinan besar tidak setuju atau melakukan politik waktu, dengan mengulur-ulur waktu. Karenanya, usul kedua ini cenderung tidak terwujud," sebut Emrus.

Ketiga, belajar dari keputusan MK tertanggal 16 Oktober 2023 dan pernah terjadi dugaan korupsi yang dilakukan oleh hakim MK, perlu dibentuk Komisi Pengawasan Hakim MK. Komisi ini diberi kewenang jika hakim MK melakukan tugas/tindakan tidak sesuai dengan kewajibannya menurut UU, untuk memecat hakim yang bersangkutan. Sebab, hakim itu tetap manusia yang bisa melakukan penyimpangan.

Keempat, perlu direvisi penyebutan hakim sebagai yang “mulia”.

"Sebab, hanya Tuhan yang pantas kita sebut yang mulia. Kelima, para hakim perlu proaktif mengusulkan agar mereka/dirinya tidak perlu disebut yang “mulia”, cukup dengan sebutan Ibu/Bapak hakim," tegasnya mengakhiri.