Soal RPP Kesehatan, DPR RI: Akan Merugikan Petani Tembakau

FAZ • Wednesday, 4 Oct 2023 - 08:27 WIB

JAKARTA - Draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur soal zat adiktif produk tembakau memicu polemik di masyarakat. Sejumlah pihak menolak RPP yang tengah disusun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) karena dinilai merugikan industri dan petani tembakau .

Hal itu terungkap dalam acara sarasehan nasional yang digelar Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur bersama sejumlah asosiasi pertembakauan serta perwakilan pemerintah menyikapi pembahasan draf RPP yang merupakan turunan Undang-Undang Kesehatan Nomon 17 Tahun 2023.

Dalam sarasehan tersebut, peserta sepakat menolak RPP yang tengah disusun ini, karena pasal-pasal terkait tembakau yang tertuang di dalamnya mencerminkan diskriminasi terhadap ekosistem tembakau yang diyakini akan makin mengancam keberlangsungannya.

Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan sesuai amanat Pasal 152 UU Kesehatan, ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan zat adiktif akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Namun, dalam kenyataanya draf RPP sudah memberi pengaturan tersendiri yang ruang lingkupnya melampaui kewenangan (over authority) karena beberapa pasal di dalamnya. Terlebih yang terkait tembakau bertabrakan dan melebar dari apa yang diatur di dalam UU.

“Sumbangsih IHT terhadap negara selama ini sudah sangat luar biasa, namun terus ditekan dengan berbagai macam aturan," katanya.

Misbakhun mencontohkan, salah satu pasal yang tercantum di dalam RUU ini terkait penjualan eceran. Hal ini sangat aneh karena PP Kesehatan tidak semestinya mengatur mengenai cara berjualan rokok.

"Hal ini memperlihatkan over authorithy yang ada di dalam RPP Kesehatan, dan karena itu, sudah sewajarnya kita memakai hak konstitusi kita sebagai rakyat untuk menolak RPP ini demi memastikan kesejahteraan mata rantai IHT,” katanya.

Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto menyampaikan pembahasan RPP saat ini dinilai bersifat tidak inklusif. Proses penyusunan kebijakan tembakau semestinya dilakukan dengan selaras dan dalam kerangka meningkatkan investasi dan industrialisasi.

"Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah industri yang meliputi hulu sampai hilir, yang saat ini kondisinya sudah menurun. Kondisi ini akan diperburuk dengan aturan zat adiktif tembakau pada RPP yang berdampak pada seluruh ekosistem rokok, petani, industri, pedagang, bahkan hingga industri periklanan,” ujarnya, Jumat (29/9/2023).

Dalam draf RPP yang disusun Kemenkes terdapat sejumlah pasal berisi larangan terkait produk tembakau yang menekan dan ditentang oleh ekosistem tembakau.

Di antara pasal-pasal tersebut adalah larangan penggunaan bahan tambahan, larangan penjualan eceran, larangan menjual produk di tempat umum serta aplikasi penjualan komersil, larangan beriklan di media luar ruang, tempat penjualan, maupun di internet, hingga larangan mempublikasikan kegiatan CSR.

Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan menegaskan sikap menolak draf RPP tersebut.

“Tembakau adalah produk legal, sehingga pengaturannya seharusnya disamakan dengan produk legal. Saat ini, draf peraturan yang disusun sudah sangat restriktif, dan ini hanya akan mematikan ekosistem tembakau yang saat ini sudah terus menyusut,” ucapnya.

Henry menegaskan keberadaan PP 109 Tahun 2012 yang saat ini masih berlaku telah mampu mengendalikan peredaran zat adiktif tembakau dengan seimbang sehingga pemerintah tidak perlu merevisi yang hanya akan memberi dampak fatal.

Dalam penyusunan PP 109, kata dia, proses pembahasan memakan waktu tiga tahun dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dan menghasilkan sebuah aturan yang berimbang dengan mempertimbangkan aspek perlindungan kesehatan, serta aspek kepentingan ekonomi.

“Dengan restriktifnya peraturan yang saat ini tengah disusun, pemerintah perlu menyadari bahwa hal ini akan merusak keseimbangan yang ada. Sangat mungkin upaya pengendalian konsumsi produk tembakau yang ingin dicapai malah tidak berjalan efektif, namun malah akan mendukung maraknya peredaran rokok ilegal yang saat ini sudah cukup tinggi," jelasnya.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto menyampaikan dalam penyusunan RPP ini, sinergi antarkementerian adalah hal yang utama.

“Dalam pembahasan aturan pengendalian, ada dua instrumen yang digunakan yaitu instrumen non-fiskal, dan fiskal. Untuk menghasilkan peraturan yang tepat, diperlukan kolaborasi antarkementerian terkait. Dalam hal RPP ini, sangat dibutuhkan sinkronisasi antara apa yang diatur dalam RPP dengan UU cukai yang sudah ada, agar tidak terjadi tumpang tindih,” katanya.

Nirwala menyebut sebelum menciptakan peraturan baru, seperti RPP terkait zat adiktif produk tembakau ini, sebaiknya dipertanyakan mengenai aturan yang sudah ada sebelumnya, yaitu PP 109 tahun 2012.

“Apakah benar PP 109 perlu direvisi? Apa yang membuatnya perlu direvisi, apakah dari sisi substansi atau dari sisi implementasi? Sebagai contoh, mengenai aturan kemasan yang terkait erat dengan wacana perluasan peringatan kesehatan 90%, apakah ada penelitian bahwa hal tersebut akan menurunkan angka perokok. Lalu mengenai uji nikotin, di mana, siapa dan bagaimana implementasinya,” paparnya.

Diskusi RPP Kesehatan telah dimulai sejak September dan diperkirakan akan segera ditetapkan. Hal ini menimbulkan keresahan dan penolakan keras dari ekosistem tembakau mengingat peraturan terkait tembakau yang ada saat ini saja sudah cukup memberatkan dan mengalami penurunan tajam. Diketahui pada 2007, terdapat 4.669 unit usaha rokok, dan pada 2022 hanya tersisa 1.100 unit usaha saja.