Marak Kasus Perundungan, Konsep Pendidikan Karakter di Indonesia Masih Rapuh

MUS • Monday, 2 Oct 2023 - 12:03 WIB

Jakarta - Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PKS, Fahmy Alaydroes menanggapi kasus perundungan di SMP Cimanggu Cilacap yang bisa menjadi cermin buruk pendidikan karakter di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia.

Sebelumnya, kata Fahmy, banyak juga terjadi kasus-kasus kekerasan di kalangan pelajar yang terlaporkan. Seorang siswa kelas V berinisial F (11) harus tewas akibat kasus perundungan yang dialaminya. Peristiwa terjadi di salah satu sekolah dasar (SD) di Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Bocah laki-laki itu dipaksa oleh teman-temannya untuk berbuat hal yang tak senonoh dengan seekor kucing.

“Perilaku kekerasan yang melanda pelajar-pelajar kita sudah mengkhawatirkan.
Ibarat gunung es, kasus-kasus yang muncul ke permukaan menunjukkan betapa banyaknya kasus-kasus serupa yang belum terungkap,” ungkap Anggota Komisi X ini.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), kata Fahmy, mencatat setidaknya ada 194 kasus kekerasan terjadi di sekolah tahun ini sepanjang tahun 2022, dan yang terbesar adalah kekerasan seksual, jumlahnya 105 kasus.

“Sementara PISA tahun 2018 menunjukkan 41 persen pelajar berusia 15 tahun di Indonesia mengalami beberapa kali tindakan perundungan dalam satu bulan. Data asesmen nasional (2021) menunjukkan, 24 persen peserta didik mengalami perundungan dalam satu tahun terakhir (Puspeka, Kemendikbudristek, 2022). Federasi Guru Seluruh Indonesia (FGSI) mengungkapkan bahwa sepanjang Januari-Juli 2023 , jumlah korban akibat perundungan di sekolah sudah mencapai 43 orang,” urai Fahmy.

Revolusi Mental yang digaungkan selama hampir satu dekade ini, imbuhnya, nampak menjadi menjadi semakin kosong. 

“Pemerintah lebih banyak bekerja dalam dunia pencitraan, menyampaikan narasi-narasi yang memukau, tapi lemah dalam implementasi. Kebijakan Pendidikan Nasional lebih sibuk dan menitik-beratkan kepada perubahan kurikulum dan berbagai persoalan teknis pragmatis Pendidikan, bukan hal yang mendasar dan mendesak untuk diprioritaskan,” jelas Anggota DPR RI dari Dapil Jawa Barat V.

Setumpuk permasalahan guru (rekrutmen , status, kompetensi, persebaran), kata Fahmy, sampai saat ini masih jauh dari penyelesaian.

“Padahal, guru merupakan tulang punggung keberlangsungan dan kebermutuan Pendidikan. Apatah lagi bila kita soroti terkait dengan Pendidikan Karakter, yang merupakan tujuan utama Pendidikan Nasional, sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Pasal 3,” sebutnya.

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Tambahan lagi, Pemerintah juga gagal dalam menghadirkan keteladanan perilaku dan akhlak mulia kepada generasi muda dan pelajar-pelajar kita.

“Kebanyakan yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh anak-anak muda dan pelajar-pelajar kita adalah perilaku koruptif, saling fitnah, saling hujat, menebarkan kebencian. Melalui dunia maya (internet, medsos) mereka mendapat berbagai asupan konten yang merusak, seperti perjudian, film-film kekerasan dan porno, berita-berita hoax, ujaran kebencian, fitnah, kebohongan, dan gaya hidup mewah para selebritas. Padahal keteladanan itu tiang utama bangunan Pendidikan, sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, KH Dewantara, : Ing Ngarso Sung Tulodo !,” ujarnya.

Pemerintah, lanjutnya, harus serius menata pendidikan nasional, terutama dalam hal pembentukan karakter, sebagaimana yang dituangkan dalam formulasi Profil Pelajar Pancasila.

“Keteladanan sikap dan perilaku sesuai dengan nilai dan norma Pancasila harus ditunjukkan oleh Presiden, para Menteri dan semua Kepala Daerah, termasuk semua anggota legislative di seluruh tingkatan,” pungkasnya.

Pemerintah, imbuh Fahmy, mesti juga memastikan bahwa seluruh tayangan/konten media social, film-film, sinetron, games dan perilaku para selebritas sesuai dengan nilai dan norma Pancasila.

“Kita mesti melindungi anak-anak dan remaja kita dari berbagai pengaruh buruk yang akan merusak masa depan mereka, dan tentu saja masa depan bangsa,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, kata Fahmy, perlu ada perhatian serius dari pemerintah, aktifkan dan efektifkan pendidikan moral, pendidikan agama.

“Batasi peredaran dan tayangan film-film, yang sarat adegan kekerasan, dan porno. Kendalikan algoritma atau konten-konten medsos yg bernuansa kekerasan, porno. hadirkan keteladanan oleh para pejabat, selebritis, influencer. Perbanyak berita-berita anak-anak, pemuda, pelajar yang berprestasi. Berikan apresiasi yg tinggi kepada mereka. Terapkan hukuman/efek jera bagi para pelaku sesuai ketentuan dan usia,” tutup Fahmy.