Mantan Hakim MK Sebut PP Nomor 28/2022 Perlu Diuji Materi, Ini Alasannya

FAZ • Sunday, 20 Aug 2023 - 07:30 WIB

Jakarta - Mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, angkat suaara soal tentang Pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara. Dia mengaku bingung apakah teori-teori hukum masih berlaku sekarang. Sebab dari legal struktur sebetulnya perangkat hukum kita sudah memadai. Namun dalam hal legal kultur sebaliknya.

“Ada budaya permisif demikian juga legal substances kita juga mengenal adanya kompromi politik yang bisa mengatasi persoalan hukum. PP Nomor 28/2022  jika  bertentangan dengan Undang-Undang di atasnya bisa dibawa ke Mahkamah Agung,” kata I Dewa Gede Palguna Diskusi Publik Nusakom Pratama Institut bertajuk “Perspektif Keadilan Dalam Pandangan Hukum dan Budaya” digelar di Kubu Kopi, Denpasar, Bali seperti dikutip dari siaran pers diterima, Sabtu (19/8/2023).
 
Menurut Palguna, terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara yang dianggap sebagian kalangan inkonsisten dengan peraturan, pada tingkatan yang berbeda harus diuji materi ke Mahkamah Agung.

“Lahirnya PP Nomor 28/2022 jika dianggap terlambat tidak akan masalah, sepanjang isinya bertentangan dengan nilai keadilan maka layak digugat publik,” nilai Palguna.
 
Bagi Palguna yang juga pendiri Forum Merah Putih, harusnya negara memiliki constistusional complaint atau Verfassungbeschwerde  seperti di Jerman untuk mengadukan persoalan hukum seperti munculnya PP Nomor 28/2022.

“Tujuannya, agar norma Undang-Undang yang baik harusnya dimulai dari awal pembentukkannya sehingga aturan turunannya bisa dikontrol,” tutur Palguna.

Menanggapi dari aspek budaya, Direktur LBH Bali Woman Crisis Center, Ni Nengah Budawati menyatakan budaya leluhur bangsa sudah meninggalkan ajaran dan pola sikap untuk berbuat baik dan menolak berbuat salah, serta menganggungkan keselarasan alam dan isinya.

“Budaya Indonesia begitu menghormati tata krama yang baik dan mengajarkan adanya kehidupan setelah kematian. Hidup selama kehidupan dan hidup usai kematian harus terus mengedepankan kebaikan,” jelas Budawati.
 
Bagi Budawati, produk hukum yang tidak berpijak kepada aspek psikologis, sosial serta budaya maka keberlakuannya menjadi tidak efektif.

“Publik pesimis dan undang-undang menjadi produk hukum yang hampa tanpa makna,” jelas dia.
 
Baik Palguna maupun Budawati membentangkan konteks pentingnya penegakkan hukum bagi terselenggaranya kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dari amatan hukum dan budaya.

Menurut keduanya, selama hukum belum ditegakkan, kemajuan ekonomi sebuah bangsa menjadi tidak bermakna. Maka demikian pula halnya dengan mengenyampingkan aspek budaya dalam proses legeslasi menjadikan produk hukum yang dihasilkan menjadi hampa.