Redam Hoax di Pemilu 2024, Perlu Adanya Regulasi Pelanggaran Etika Informasi Publik

AKM • Friday, 28 Jul 2023 - 14:28 WIB

Jakarta - Menjelang pemilu 2024 Indikasi banyaknya berita bohong/ hoax berpeluang semakin besar terjadi. Hal ini memerlukan solusi dalam antisipasi dan meredam berita atau informasi bohong yang membuat keresahan di masyarakat.

Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron menilai perlu adanya regulasi terkait pelanggaran etika Informask publik terkait  maraknya peredaran informasi bohong atau hoaks.

“Ke depan perlu ada regulasi yang terkait dengan bagaimana pelanggaran etika dalam penggunaan informasi publik, kalau tidak ya ini menurut saya menjadi bahaya ke depan,” kata Herman dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema "Antisipasi Hoax Jelang Pemilu 2024", di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/7).

Menurut dia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) juga harus jeli dalam menindak konten hoaks dengan membuat strata atau kategori hoaks. “Apakah ini masuk dalam pelanggaran hukum atau kah dalam pelanggaran etika, menurut saya ini perlu,” ujarnya.

Meski telah ada lembaga publik di bidang informasi, seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Informasi Pusat, dia menilai perlu adanya bentuk penindakan yang tegas dalam mengatasi peredaran hoaks.

Regulasi yang lebih tegas bahwa siapapun yang menggunakan media sosial, media publik, yang kemudian jauh dari kebenaran, bahkan relatif penuh fitnah, bahkan yang lebih mengkhawatirkan atau lebih memiliki dampak yang lebih luas yaitu memecah belah kerukunan, memecah belah persatuan, ini yang sesungguhnya menurut saya harus mendapatkan tindakan yang tegas,” katanya.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI Wihadi Wiyanto meminta semua pihak untuk dapat menahan diri agar tidak menyebarkan hoaks pada saat Pemilu 2024. Ketimbang menyebarkan hoaks, dia menyebut semua pihak yang terlibat dalam kontestasi pemilu seharusnya mengedepankan visi-misi kebangsaan.

“Saya kira hal-hal ini perlu dilakukan juga untuk semuanya kita menahan diri untuk tidak melakukan black campaign," kata Wihadi.

Sebab, kata dia, masyarakat saat ini lebih cenderung mempercayai berita yang berseliweran di media sosial, alih-alih berita yang diproduksi media arus utama. Padahal, menurutnya hoaks justru banyak memenuhi ruang media sosial.

"Saya kira hal ini perlu ada satu pengawasan terhadap medsos dalam undang-undang ITE sebenarnya sudah jelas, undang-undang permasalahan yang mengatur undang-undangnya sudah jelas, cuman memang medsos ini boleh dikatakan tidak terbendung dalam satu menit itu bisa sekian mereka bisa posting sekian juta orang bahkan," ujarnya.

Oleh karena itu, Wihadi mengatakan bahwa pers harus bisa menghalau munculnya hoaks di tengah masyarakat dengan menyajikan berita-berita terpercaya dengan pernyataan narasumber yang terverifikasi.

“Antisipasinya kalau saya lihat adalah bagaimana yang namanya pers ini bisa memberikan sajian berita yang mereka lebih terpercaya, meng-counter itu (hoaks) secepatnya,” ucap dia.